Meskipun semua pemberitaan Ara Aita bersifat
mengkritik, namun ia juga terbuka untuk menerima kritikan dari para pembacanya
dengan segala pertimbangan.
Ara Aita
dalam perjalanannya masih
konsisten untuk selalu mengkritisi kebijakan yang diterapkan di kampus. Ditengah harlahnya ke 33
ini, Ara Aita justru
mendapat kritikan dari para pembacanya.Terutama mengenai isi berita yang
disajikan, telah banyak masukan yang telah disumbangkan. Salah satunya adalah
tentang tema-tema yang diangkat, berbagai kalangan telah mengatakan bahwa
berita yang disinggung selalu negatif. Padahal juga banyak nilai positif yang
terkandung dalam kampus. “Dimana nilai baiknya, masak semua yang ada didalam
kampus itu buruk”, Ungkap Huda selaku wakil rektor III. Namun, selain itu ia juga
menyarankan agar berita yang disajikan itu lebih inspiratif dan porsi berita
yang disajikan juga lebih bersifat akademik. Karena Ara Aita adalah media dalam
naungan kampus.
Dalam lingkup itu media juga dikaitkan dengan pemikiran
(mindside) masyarakat. Dimana media juga turut berperan dalam perkembangan
perilaku masyarakat. Jika yang diberikan berita yang buruk-buruk saja, maka
masyarakat juga akan terkontaminasi dan meyakini bahwa bangsa ini buruk. Dan
malah berita yang positif itu terkubur oleh isue-isue yang negatif.
“Lantas bagaimana perkembangan pola pikir mahasiswa, kalau berita-berita yang
buruk sering menghantui benaknya. Kalau seperti itu, menjadikan mahasiswa tidak
yakin dengan kampusnya sendiri”, tambahnya.
Hal senada
juga diungkapkan oleh Suhartini selaku Dekan
Fakultas Dakwah. Dimana
tendensi pemberitaanya meranah pada kebijakan yang melenceng. “Berita yang
disajiakan tidak balance, antara realita dan penjelasannya tidak
sinkron. Harusnya semua pertanyaan mahasiswa bisa dijawab dalam berita itu”,
ungkapnya. “Fakultas tidak perlu dibela, tidak
usah membagus-baguskan fakultas. Cukup tulis apa adanya saja, dan beritanya
agar dikemas lebih bagus lagi”, tambahnya.
Selain itu beliau juga mengapresiasi Ara Aita, bahwa
bentuk pertanggungg jawaban financial sudah nampak jelas. Dengan konsistensi
terbitan buletin, majalah, ataupun jurnal. Dalam pembelajaran crew magang juga
sudah bagus, dengan bukti bahwa terbitan new news yang sekarang lebih bagus
dari sebelumnya. “ ini sudah bagus, dari pada majalah Ara Aita yang dulu banyak
salah dari segi keredaksiaannya”, jelasnya. Beliau mempertegas bahwa rubrik
yang berlingkup pengetahuan seperti esay dan yang bersifat lucu seperti cerpen
itu sudah bagus. Akan tetapi yang bersifat hangat seperti berita, masih perlu
pembenahan.
Dalam hal ini mahasiswa juga memberikan kontribusinya
kepada Ara Aita. Dari pengamatan mereka, didapati bahwa pemberitaan Ara Aita
itu bersifat kaku. Dalam arti bahwa isue-isue yang disajiakan selalu itu-itu saja,
menuntut kebijakan dari birokrat. Sedangkan dari segi kepenulisannya juga
dikritik agar menambahkankata “pak” atau “bu” ketika menyebutkan nama
dosen dalam kutipannya. “Kalau mencantumkan nama dosen lebih sopan
lagi, pakai awalan. Jangan langsung sebut nama”, ujar Zawil mahasiswa Prodi
PMI. Namun dari kami juga memberikan penjelaskan
bahwa Ara Aita itu lembaga independen yang berdiri sendiri (tidak memihak
kepada siapa pun). Dimana teknik penulisan nama dalam kutipan itu tidak mencantumkan
gelar atau sebutan penghormatan baik pak, bu atau pun yang lainnya. Dan untuk
mengimplementasikan hal itu, Ara Aita tetap berpegang teguh pada
pondasinya.
Ia juga menambahkan agar mengemas tulisan lebih menarik
dan membuat pembacanya penasaran, agar peminat baca juga banyak.Disisi
lain jenis font yang digunakan dalam
penulisan new news juga dipermasalahkan.“Mungkin fontnya bisa diganti dengan
yang lebih enak dilihat, karena saya rasa font yang sekarang kalau dibaca bikin
pusing atau terlalu resmi.”, ungkap mahasiswa yang berlangganan new news itu. Sedangkan
untuk hal itu masih kami pertimbangan.