
Ketika
perjuangan dan perlawanan Indonesia mengalami kemunduran dan kelumpuhan
bertahun-tahun yang diakibatkan oleh ditangkapnya ribuan pejuang politik oleh
penjajah Belanda, Tan Malaka tengah berada di luar negeri, tepatnya di Ibukota
Thailand, Bangkok pada Juni 1927 bersama Subakat, Djamaluddin Tamin, dan
kawan-kawannya yang lain. Di sanalah Tan Malaka menyatakan berdirinya Partai
Republik Indonesia (PARI), lengkap dengan Manifesto PARI yang memiliki gambaran
tentang analisa, program, strategi taktis dan organisasi serta mode kerja untuk
mencapai Republik Indonesia di masa depan.
Banyak
gagasan-gagasan dan pemikiran yang ia tuangkan dalam karya tulisnya. Karya
pertamanya berjudul “Tanah Orang Miskin” yang dimuat di Het Vrije Wourd edisi Maret 1920, berisi tentang perbedaan mencolok
antara kaum kapitalis dan kaum pekerja dalam hal kekayaan. Semua karya Tan
Malaka di latar belakangi oleh keadaan rakyat Indonesia pada masa itu. Itulah
mengapa karya-karyanya memiliki ciri khas Indonesia-sentris.
Tan
Malaka memiliki ciri khas dalam gagasan-gagasan dan pemikirannya, yaitu,
berpikir ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan, bersifat Indonesia-sentris,
memprediksi ke depan atau futuristik, dan orisinal, mandiri, konsekuen dan
konsisten. Salah satu karya yang memperkenalkan bangsa Indonesia untuk berpikir
ilmiah adalah karya besarnya dengan judul “Madilog”. Sementara itu, karyanya yang lain mengenai situasi dan kondisi
bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda, kebudayaan serta sejarahnya
merupakan bagian dari Indonesia-sentris. Ia telah mencetuskan gagasannya
mengenai strategi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia pada tahun 1925 lewat
karyanya yang berjudul “Menuju Republik Indonesia”, 20 tahun sebelum Indonesia
merdeka. Hal itulah yang dimaksud dengan gagasannya yang bersifat futuristik.
Ia adalah pelopor yang membentuk Persatuan Perjuangan dengan 7 Pasal Minimum
Programnya di Purwokerto, Jawa Tengah. Dengan menggabungkan 142 organisasi
partai politik, kelaskaran, pemuda, wanita dan lain-lain guna menentang
kebijakan politik diplomasi perundingan pemerintah dengan Belanda tanpa syarat.
Tan
Malaka beserta pimpinan Persatuan Perjuangan ditangkap dalam provokasi
peristiwa 3 Juli 1946, namun ia tidak pernah diadili selama dua setengah tahun.
Ia baru dibebaskan dari penjara pada September 1948 setelah terjadinya
pemberontakan Front Demokrasi Rakyat Partai Komunis Indonesia (FDR/PKI) di
Madiun. Pada saat itu Indonesia tengah berada dalam kondisi yang parah karena
perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville 1948. Lalu, pada 7 November 1948
Tan Malaka membentuk Partai Murba di Yogyakarta. Partai Murba merupakan
perpaduan antara Partai Rakyat, Partai Buruh Merdeka, dan Partai Rakyat Jelata.
Rencananya akan diadakan Kongres Rakyat pada Desember 1948 untuk menyatukan
kekuatan dalam melawan Belanda. Namun, tidak lama setelah terbentuknya Partai
Murba, Tan Malaka gugur dalam perjuangan Gerilya Pembela Proklamasi di Phetok,
Kediri Jawa Timur.
Akhirnya,
Tan Malaka dibebaskan dari tuduhan merencanakan kudeta atau peristiwa 3 Juli
1946. Karena pada kenyataannya hal itu hanyalah provokasi dari penguasa pada
waktu itu. Oleh karena itu, pada 4 Oktober 1948 Pengadilan Tinggi daerah Jawa
Tengah menguatkan yang telah ditegaskan oleh ketua Pengadilan Negeri Surakarta
pada tanggal 15 September 1948, no. 643 yang isinya: (a) apa yang disebut
“percobaan Tan Malaka dkk untuk merebut kekuasaan RI” itu tidak terbukti dan
(b) terhadap Tan Malaka dkk tidak ada alasan yang cukup untuk penuntutan (250,
ayat 3 H.I.R.). Seperti itulah isi dokumen resmi yang mengklarifikasi kebenaran
peristiwa 3 Juli 1946. Atas perjuangan dan keberaniannya dalam memperjuangkan
kemerdekaan, pada tanggal 8 Maret 1963 Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.