Semua yang terjadi
didalam kelas, baik simpang siur mahasiswa, hingga ketidak efektifan didalamnya
dirasa berpacu pada dosen dan metode yang diberikannya.
Banyak
kebijakan yang diberikan oleh pihak Fakultas Dakwah dan Komunikasi kepada
mahasiswanya, salah satunya mengenai kebijakan penggambilan mata kuliah disetiap
semesternya. Mahasiswa boleh mengambil bobot Mata Kuliah (biasa disebut SKS)
sesuai dengan Indek Prestasi Komulatif (IPK) semester lalunya. Bagi mahasiswa
yang IPK-nya tinggi, bisa mengambil Mata Kuliah semester atasnya, dengan syarat
Mata Kuliah wajib pada semesternya telah diambilnya. Namun pengambilan Mata
Kuliah lebih itu harus sesuai
dengan standart SKS yang bisa diambilnya. Kebijakan pengambilan SKS untuk
setiap mahasiswa ditentukan oleh pihak Fakultas, mulai dari 2 SKS, 3 hingga 4
SKS. Semua itu sesuai dengan bobot setiap Mata Kuliah.
Imas
Maesaroh menjelaskan mengenai tujuan setiap Mata Kuliah dan kadar SKS-nya.
Bahwa setiap Mata Kuliah yang ada dan sudah masuk dalam kurikulum itu pastilah
Mata Kuliah yang memang dibutuhkan dan harus diambil mahasiswa. Untuk Mata
Kuliah yang bobotnya lebih seperti 4 SKS, pihak fakultas memberi waktu lebih agar
mahasiswa dapat memahami, menguasai dan mengaplikasikannya. Karena memang bobot
setiap Mata Kuliah itu berbeda-beda. “Semua itu tergantung bobot Mata
Kuliah-nya,” jelas Wakil Dekan II itu.
Perihal
ke-efektifan di setiap pertemuan perkuliah, Imas menanggapi bahwa semua itu
diluar kuasanya. Namun jika ditemukan dampak negatif di setiap pertemuanya
seperti mahasiswa mengantuk (bahkan tidur) dan dosen terlambat masuk kelas
(bahkan keluar sebelum waktunya), maka perlu ada laporan dari pihak yang
bersangkutan, baik dari mahasiswa ataupun dosen terkait hal tersebut. Agar
segera ditindak lanjuti. “Pihak yang bersangkutan harus segera melaporkan hal
ini,” tegasnya saat ditemui crew new-news (27/03).
Sebagaimana
permasalahan diatas, Nur Halima mahasiswi Ilmu Komunikasi membenarkan adanya
dampak negatif dari ketidak efektifan dalam pembelajaran terlebih pada Mata
Kuliah yang 4 SKS. Dia merasa antara dosen dan mahasiswa sama-sama bosan,
sehingga suasana kelas semakin tidak kondusif. Bahkan mahasiswa dan dosen
sama-sama sibuk dengan kesibukan masing-masing, teman yang menjadi pemateri
tidak dihiraukan apalagi jika dosen yang mengajar menggunakan metode dongeng.
“Suasana benar-benar tidak mendukung,” ujar mahasiswi semester II ini.
Berbeda
dengan yang dikatakan Nur Halima dengan pemaparan dari mahasiswi yang biasa
dipanggil Richa ini. Dia memaparkan bahwa di kelasnya semua sama saja, tidak
ada permasalahan seputar dampak negatif baik 2 atau 4 SKS sekalipun. Namun
Richa tidak menutup kemungkinan bahwa dampak negatif juga akan dirasakannya,
karena pada masa sekarang dosen pengampuhnya masih menerangkan prolog-prolog
terkait Mata Kuliah-nya. “Sejauh ini tidak ada masalah, karena dosen masih
menerangkan silabusnya,” papar mahasiswi Program Studi (Prodi) Bimbingan
Konseling Islam.
Hal
diatas terlingkup pada pendapat yang dikatakan Wachdatus Sholihah Prodi
Manajemen Dakwah, yang mengatakan bahwa setiap pertemuan mempunyai corak yang
berbeda-beda. Tidak memandang berapa SKS yang
sedang dijalani, hal yang berpengaruh dan menjadi acuan timbulnya
ke-efektifan dalam kelas terletak pada dosen metode dan materi yang
diberikannya. Dia menyimpulkan bahwa letak ke-efektifan dalam kelas lebih besar
tergantung dari setiap dosennya. “Dosen
sangat berpengaruh,” simpul mahasiswa dari lamongan ini.
No comments:
Post a comment