Ketegasan Kode Etik
Mahasiswa dalam berbusana sedang mengalami rehabilitas yang belum di ketahui tindak
lanjutannya. Semua itu mengakibatkan peraturan yang ada tidak bisa berjalan se
maksimal mungkin.
Tidak
adanya keseimbangan antara mahasiswa dan para jajaran dosen dalam lingkup
mensukseskan peraturan yang ada seakan tampak sia-sia, jika hanya satu atau dua
orang saja yang menyadari pentingnya kesuksesan bersama. Sebagaimana ketegasan
atas adanya peraturan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi pun mulai di
pertanyakan. Masih banyak Kode Etik Mahasiswa (KEM) yang tidak ada tindak
lanjutannya. Seperti Kode Etik bab V pasal 7 dalam etika berbusana masyarakat
kampus.
Ketegasan dan penindak lanjutan
untuk KEM berbusana tidak muncul hingga awal semester genap ini. Hasil Deklarasi
bahwa Fakultas Dakwah anti pakaian ketat pada bulan 28 Oktober lalu seakan
tidak berarti apa-apa, banyak ditemukan mahasiswa yang masih mengenakan busana
tidak sesuai KEM. Padahal ketika memasuki area Fakultas Dakwah sudah terpampang
jelas adanya papan beaner, himbauan
untuk mewaspadai busana masyarakat
kampus.
Inay mahasiswi komunikasi semester
dua itu (nama samaran), memaparkan bahwa seiring berjalannya waktu ternyata
mahasiswa dakwah sudah semakin membaik dalam berbusana meski masih ada
mahasiswa yang busananya tidak sesuai KEM, namun sudah banyak ditemui mahasiswa
yang mematuhi peraturan yang ada. “Banyak kemajuan dalam bebusana, sepertinya
mahasiswa sudah sadar dengan sendirinya akan KEM berbusana,” papar mahasiswi
asal Tuban itu.
Kemajuan
yang sudah meningkat tidak menutup harapan inay untuk kemajuan fakultas-nya.
Dia juga menambahkan bahwa ketegasan secara konkret akan sanksi untuk pelanggar
KEM seharusnya juga ada. Dia sangat menyayangkan jika semua peraturan tidak di pertegas
dan di biarkan begitu saja. “KEM harus tetap ada penindak lanjutannya, peraturan
yang ada jika tidak di dipertegas itu sayang,” tambahnya.
Berbeda
dengan paparan inay, mahasiswa yang masih sering memakai busana kurang islami ini
sebut saja UUL (nama samaran) mengomentari KEM busana yang ada. Dia menyatakan
bahwa perubahan berbusana mahasiswa tidak dapat di paksakan, dia merasa lebih nyaman dan enjoy dengan busananya itu. Namun uul tidak menutup kemungkinan
jika dirinya juga sering memakai busana yang sesuai dengan KEM, akan tetapi
semua itu lagi-lagi tergantung kenyamanannya. “Saya berbusana apa adanya,
selagi saya rasa busana ini pantas di buat ke kampus maka saya akan tetap
memakainya,” tanggap uul saat ditemui crew new news.
Selain
itu uul juga menambahkan bahwa busana yang dia pakai dirasa lebih baik adanya walau
ketat dari pada memakai pakaian yang tertutup tapi transparan, seperti meksi bahan sifon contohnya. “Mending langsung
celanaan gini, yang memang menutupi dari pada menutupi tapi transparan sama saja keliatan kan klo
gitu,” tambah mahasiswi ini.
Menanggapi
permasalahan di atas, Suhartini selaku Dekan memberi ketegasan bahwa KEM akan
terus di tingkatkan, sesuai dengan kemajuan dan kemunduran mahasiswanya.
Seperti teguran yang banyak di berikan kepada mahasiswa yang masih melanggar
etika berbusana, namun dia menyadari bahwasannya teguran saja tidak cukup untuk
merubah mahasiswanya. Suhartini menegaskan suatu saat pasti ada hokum konkret
bagi pelanggarnya. “Hukum konkret untuk pelanggar pasti akan ada, namun semua
itu masih membutuhkan penelitian terhadap perkembangan mahasiswa sendiri,” tanggap
satu-satunya Dekan wanita di Fakultas Dakwah itu.
Dekan
pun menambahkan bahwa pernah ada teguran yang diluncurkan oleh Imas Maysaroh
selaku Wakil Dekan I terhadap mahasiswi yang mengenakan busana tidak sesuai
dengan KEM seorang mahasiswa. Imas menegurnya agar besok tidak kembali memakai
pakaian yang di kenakannya saat itu, kalau tidak mematuhi dia tidak boleh masuk
kuliah. “Besok jangan mengenakan busana seperti ini lagi, klo tidak di rubah
maka besok tidak usah masuk kelas saja,” tegur wanita berkulit kuning itu.
No comments:
Post a comment