Di abad ke 18-an, kediktatoran pernah terjadi di Prancis dibawah
kekuasaan raja Louis ke-9. Dan sekarang pun sadar atau tidak Uinsa juga memberlakukan kediktatoran itu. Dengan menambahkan
system intensive keagamaan ditengah jam kuliyah yang padat. Apa sebenarnya yang
menjadi tujuan? Disinyalir hal ini hanya
akan mengarahkan mahasiswa yang sebelumnya agent of intellectual menjadi
fatalis keagamaan saja. Seperti dikatakan Karl Mark bahwa agama adalah candu? Maka
mahasiswa dituntut untuk selalu menengadahkan tangannya ke atas.
Padahal jika kita melihat kembali sejarah abad pertengahan, bagaimana
sebuah bangsa romawi yang sebelumnya tampil gagah dengan keudayaannya yang sangat tinggi seketika saja
hancur, tidak lain dikarenakan spiritualisme menggeser
budaya rasional masyarakat romawi kala itu. Sehingga tidak dapat dibendung lagi
yang dianamakan fenomena teks merajai konteks yang kemudian melahirkan ketertiduran
panjang dalam ilmu pengetahuan. Dan bayangkan umpama keberhasilan para raja
atau uskup Romawi dalam menundukan rakyat pada aturan gereja saat itu, terjadi
pula sebagai keberhasilan Rektor atau birokrat kampus saat ini
yang begitu getolnya mentransisikan mahasiswa menjadi mahasantri?.
Akan tetapi, sampai saat ini mahasiswa yang katanya agent of
social controll itu masih adem anyem saja meskipun ditengah-tengah
mereka sedang terjadi kediktatoran pemikiran secara tidak langsung. Lebih
tepatnya pemandangan yang dipertontonkan mahasiswa saat ini lebih menyerupai
pameran bisu. Tidak ada perlawanan serta pemberontakan, lebih banyak mahasiswa yang memilih sikap diam atau
bersembunyi dibalik ketiak penguasa (Rektor, Dekan, Aturan akademik, dan Dosen)
seperti disinggung oleh Nitzsche mereka
umpama mayat berjalan yang disiram oleh parfum.
Dan sangat disayangkan jika mahasiswa yang dalam fundamen
histysnya dulu pernah diceritakan pemberani, tidak pengecut dan mampu memberikan pengaruh serta menggerakkan
masyarakat disekitarnya, seperti contoh Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang hidup
dengan cara melawan sehingga membawa kememerdekakan bangsanya. Sekarang justru
berganti dengan generasi mahasiswa yang datang ke kampus sekedar duduk manis
dari pagi sampai sore, ngegosip, lalu pulang.
Meski pun tahu didepan hidung mereka selalu disodorkan kepalsuan,
mahasiswa saat ini tidak bisa melakukan apa-apa, karena takut dikatakan amoral atau
akan berpengaruh pada nilai. Sehingga sekarang sudah jarang mahasiswa yang masih
berani melakukan debat sengit dengan
dosen, menciptakan suasana kelas yang gaduh
yang penuh dnegan olah gagasan. Mereka
hari ini lebih banyak yang setuju-setuju
saja dengan stetment jika
generasi tua (Guru atau Dosen) yang selalu benar. Apalagi dalam prinsip
pesantren pun murid harus selalu taqdim (manut) kepada sang guru.
Padahal sikap seperti itu bukanlah cara yang tepat, karena sebenarnya
sebagaimana pernah dikatakan Aristoteles bahwa imperium suatu bangsa terletak
di pundak generasi mudanya. Jadi sangat kolot apabila kita mahasiswa selalu
berpikir yang tua (Guru atau Dosen) yang
selalu benar. Seharusnya sebagai mahasiswa kita memiliki kesadaran kritis bukannya
malah mentradisikan apa yang sudah ada .
Kenapa harus takut dikatakan tidak bermoral? Padahal yang tidak bermoral bukan hanya
mereka yang tak punya sopan santun saja, tetapi mereka yang tak mengakui
kesalahannya meski tau dirinya salah dia
juga tidak bermoral.
Katakanlah para dosen atau petinggi kampus lainnya, mereka digaji bukan
untuk menjadi kuli kuli kurikulum yang bertugas hanya untuk menyampaikan kulikurum
yang memang sudah sedemikian adanya. Tetapi seorang pendidik adalah membuat
mahasiswanya pintar. Dan jika mahasiswa merasa belum pintar maka dia boleh
mengkritisi gurunya seperti halnya Aristoteles yang pernah menentang pemikiran
Plato sehingga ia pun menghasilkan pengatahuan yang baru berbeda daripada
gurunya itu.
Lain dengan kita pada hari
ini, yang justru mau-mau saja dijadikan burung- burung Uinsa yang sibuk mengerami
di dalam sangkar agamanya. Padahal Agama diturunkan tuhan buat manusia, dan
bukan buat kepentingan tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia, kelewat
luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa lagi. Lalu untuk apa lagi
kita bermalas -malasan seperti ‘burung nyanyi’ melagukan ayat Alqur’an tetapi
tidak memahami, seperti yang dipaksakan si
kuli-kuli kurikulum itu terhadap kita ? Allah pun pernah mengingatkan kita
ummatnya dalam kitab suci Alqur’an nya
surat Al-Ma’un diantaranya; “tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama?”
Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa perbuatan malas, diamasukkan dalam
kategori dusta itu sendiri.
Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaça, dilagukan, dan
dipertandingkan dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional, melainkan untuk
dimengerti, dipahami dan dilaksanakan. Tidak penting menjadi burung nyanyi
Uinsa. Pendeknya, justru tindakan dan
amal kita seagai mahasiswa kampus islam, serta relevansi social dari agama itulah
yang seharusnya dilakukan. Jadi kamu generasi muda, tanyakan pada hati
terdalammu kampus tempatnya mahasiswa atau mahasantri?