Oleh :
Taufiqurrahman*
Majalah TIME edisi 16 Februari 2009 memuat ilustrasi kover yang
cukup nyentrik. Digambarkan disitu beberapa lembar koran The New York Times
(NYT), harian yang se-induk perusahaan dengan TIME membungkus seekor ikan.
diatas gambar tersebut sebuah judul besar melintang provokatif berbunyi “How To
Save Your Newspaper?”. Ilustrasi kover itu kira-kira mengandung pesan bahwa
suatu saat koran sebagai “simbol” media cetak akan kehilangan kedigdayaannya
dan menjadi tak lebih dari pembungkus makanan.

Baiklah, mungkin terlalu jauh untuk
mengaitkan peluncuran dua situs jurnalistik online tersebut dengan depresi
industri media cetak. Lagipula, dalam perbincangan kawan-kawan saya, ramalan
diatas sebenarnya mulai terasa “Basi”. Industri media cetak telah diramalkan
akan mampus sejak dunia memasuki “era online” pada awal tahun 1990. Nyatanya
TIME masih tegak, NYT dan Lost Angeles Times masih berproduksi. Di indonesia
majalah TEMPO dan Harian Kompas masih menjadi rujukan para pengamat dan
politikus dalam memonitor perkembangan isu-isu tertentu. The Jakarta Post masih
bisa saya jumpai di perpustakaan. Jawa Pos dan Harian Surya masih nangkring
manis di warung-warung kopi. menemani saya ongkang-ongkang kaki setiap pagi.
Sambil iseng-iseng memandangi para mahasiswi yang berangkat intensif.
Kita patut bersyukur bahwa kampus UINSA Surabaya masih memiliki
lembaga-lembaga pers yang handal meski “kesaktiannya” disebut-sebut mulai
memudar. Saya suka membaca SOLIDARITAS untuk sekedar update seputar
budaya-budaya “pop” di kampus kita. Saya juga kagum pada EDUKASI yang masih setia
mengawal isu-isu pendidikan. Kesejahteraan guru, hak-hak siswa, serta
menyuarakan nuansa pendidikan yang humanis. Saya merasa merekalah kepanjangan
tangan Paulo Freire dan Ivan Illich di kampus ini. ARRISALAH terus getol
mengulas seputar isu-isu seputar Hukum, UU, RUU, dan perangkat-perangkat aturan
lain yang dianggap salah sasaran. Sedang ARAAITA tetap kerasan menjadi media
paling “berisik” dan “pedas” dalam menganalisis kebijakan-kebijakan kampus. Juga
QIMAH dan FORMA, serta puluhan buletin yang tersebar di penjuru kampus
Kemudian saya melihat bahwa hal-hal hebat tersebut terancam sirna
karena hari ini para jurnalis kampus kita mengalami depresi yang sama.
Lembaga-lembaga pers terus bergelut dengan problem internal di masing-masing.
Lalu ditambah dengan bonus problem internal yang menggerogoti keberlangsungan (sustainability)
dari siklus penerbitan. Sebut saja proses pemindahan sekretariat ke luar
kampus, perubahan sistem kucuran dana penerbitan, belum lagi harus berhadapan
dengan problem merosotnya budaya literasi mahasiswa yang sukses membikin dunia
jurnalistik kampus sepi peminat.
Yap, para awak media kampus harus memutar otak. Harus berani
merombak tatacara berpikir. Jurnalisme tidak bisa sendiri-sendiri. Dalam hemat
saya para jurnalis pertama-tama harus move on dari sekedar lembaga media
(media institute) menuju perusahaan media (media company).
Artinya media yang mampu menjamin sustainability-nya sendiri. punya
kekuatan ekonomi, juga kekuatan tradisi jurnalistik. Sudah bukan jamannya lagi untuk
menunggu kucuran dana dari kampus. Itupun tidak cukup, kita harus bisa menuju
tingkatan selanjutnya, yaitu jaringan media (Media Network).
Media yang telah mencapai tingkatan ini dapat dikatakan sebagai
media yang mapan. Baik dalam kekuatan ekonominya, maupun kekuatan tradisi
Jurnalistiknya. Hal ini telah cukup dicontohkan oleh LPM Ara-Aita yang
mengusung konsep Diversifikasi Produk. Dengan menerbitkan Majalah dua kali
setahun, Jurnal Penelitian tahunan tiga bahasa, Buletin berita mingguan (New
News) dan sekarang bertambah dengan sebuah situs berita online. di Indonesia,
konsep ini bukanlah sesuatu yang baru. kita bisa melihat bagaimana TEMPO
memiliki tempo.co, Jawa Pos memiliki jpnn.com, Harian Surya memiliki
tribunnews.com. begitupun dengan TVOne dan Vivanews.com, SINDO dengan
Okezone.com, belum lagi kita berbicara tentang MNC group milik taipan Harry
Tanoesodibjo yang mengklaim diri sebagai “the most intregrated media group”.
Ini, meskipun bukan satu-satunya cara, adalah salah satu cara agar media bisa survive
dengan mengembangkan sayap di berbagai bidang yang dapat saling
menopang.
Jadi, ketakutan akan runtuhnya
industri media cetak seharusnya tidak berlaku bagi kita semua. Media-media di
kampus UINSA harus segera selesai dengan problem “keberlangsungan” dan
berpindah fokus pada “Penguatan wacana dan pengawalan isu”. Thus,
depresi dunia jurnalisme kita bukan karena kalah dengan media online yang serba
cepat, murah, dan update, tapi karena kita gagal menjaga tradisi jurnalistik
yang sudah tertanam sejak lama. jangan menjadikan media online yang baru lahir
ini sebagai ancaman atau musuh, sebaliknya pandanglah dia sebagai partner yang
mampu menguatkan jaringan media kita. yang jelas, jika andai saja—dan ini bukan
impian yang muluk, saya rasa—semua media-media kampus UINSA serentak membangun Media
Network yang terintegrasi untuk saling menopang sebuah tujuan bersama, maka
tidak akan sulit mengembalikan UIN Sunan Ampel Surabaya to it’s former glory!
Selamat atas peluncurannya, Bravo
Ara-Aita! Salam Pers Mahasiswa!
*taufiqtheavenger@gmail.com