
“Cogito
ergusum” aku berpikir maka aku ada, merupakan sebuah ungkapan yang pernah
disampaikan oleh seorang filsuf abad modern, yaitu Rene Descartes. Ungkapan
tersebut sangat fameliar di kalangan aktifis mahasiswa untuk menunjukkan sebuah
eksistensi dari organisasi. Berpikir jangan hanya diartikan sebagai penggunaan
akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Lebih dari itu
berpikir haruslah dibarengi dengan tindakan, jika tidak maka berpikir tidak
akan berdampak apa-apa.
Organisasi adalah sebuah wadah dimana mahasiswa
melakukan kegiatan berpikir sekaligus bertindak. Marujuk kepada pengertian
dasarnya, organisasi mahasiswa merupakan sekumpulan mahasiswa yang mempunyai
kesamaan paradigma dan
membentuk suatu kelompok tertentu demi mencapai tujuan
bersama.
Dari sekian banyak tujuan organisasi pasti bermuara
pada satu titik, yaitu membentuk mahasiswa sebagai agen perubahan sosial (Agen
of Social Change), pengawas kebijakan (Agen of Control), penerus
masa depan (Iron Stoke), dan berada di barisan terdepan ketika rakyat
dalam lingkaran ketidakadilan (Event Grade).
Akan tetapi, saat ini tidak sedikit mahasiswa yang
menjauh dari tujuan tersebut. Keengganan mahasiswa terhadap organisasi
hari ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu Pemberlakuan 4 SKS, jadwal
kuliah semakin padat yang mengharuskan mahasiswa berangkat ± jam 06:00 wib dan
pulang ± jam 18:00 wib, dan pengalihan basecame UKM/UKK ke luar kampus merupakan
salah satu alasan mengapa banyak mahasiswa kurang minat mengikuti organisasi
baik intra maupun ekstra kampus.
Melihat kenyataan di atas, kita kembali diingatkan
dengan kebijakan korporatif pada masa Soeharto. Dengan berlakunya NKK/BKK semua
organisasi mahasiswa dikekang dan diambil kebebasan berpendapat serta berada di
bawah bayang-bayang Soeharto, yang mau tidak mau harus mengikuti apa yang
diinginkan oleh pemerintah. Sehingga sangat sulit bagi mahasiswa untuk
mengembangkan otonomisasi dan independen keorganisasian.
Kebijakan NKK diawali dengan pembekuan atas dewan
eksekutif mahasiswa tingkat kampus di seluruh Indonesia berdasarkan SK
No.0156/U/1978. Konsep ini menilai bahwa tindakan para mahasiswa yang tidak
menginginkan Soeharto menjadi presiden lagi dianggap telah merongrong wibawa
pemerintah, menimbulkan rasa benci, perpecahan, pertentangan, yang jika
dibiarkan akan berimbas pada kekacauan di tengah masyarakat. Keadaan ini
menyebabkan mahasiswa hanya ada pada kegiatan akademis dan jauh dari aktifitas
organisasi (politik).
Setelah dewan mahasiswa dibekukan maka sebagai gantinya
pemerintah membentuk keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan menteri
P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga
Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Organisasi mahasiswa
yang diakui oleh pemerintah hanyalah organisasi Senat Mahasiswa Fakultas (SMF)
dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas. Namun demikian, kegiatan mahasiswa
masih berada dalam bayang-bayang rektor dan pembantu rektor sebagai wujud
tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Jadi, mahasiswa kehilangan ruang organisasi (politik)
yang bebas di dalam mengembangkan kritisisme dan kreatifitas di dalam menyikapi
persoalan bangsa oleh karena pemahaman organisasi (politik) mahasiswa hanya
sebatas konsep, dan organisasi konvensional yang selama ini diandalkan sebagai
basis protes (senat mahasiswa dan organisasi mahasiswa eksternal) mengalami
depolitisasi.
Saat ini, seakan-akan sejarah akan terulang kembali
ditingkat perguruan tinggi negeri maupun swasta. Dengan diadakannya
kebijakan-kebijakan yang kurang berpihak kepada organisasi mahasiswa, baik
intra maupun ekstra dan seolah-olah organisasi mahasiswa diarahkan ke
organisasi pada tataran konsep saja serta organisasi yang lebih mengarah kepada
materi, kepuasan dan kesenangan. Jangan sampai kebijakan NKK/BKK
bermetamorfosis di era reformasi dengan wajah baru dan dengan cara yang halus
serta kasat mata.
Sebab jika hal semacam itu tetap dibiarkan terjadi,
maka dikhawatirkan akan membentuk mahasiswa ke dalam beberapa kategori. Pertama, mahasiswa apatis; mahasiswa
menganggap terlalu beresiko jika aktif dalam berorganisasi dan acuh tak acuh
dengan kehidupan kampus dan kondisi sosial yang ada di lingkungannya. Hal
tersebut disebabkan oleh ketatnya sistem pendidikan yang memberlakukan Sistem
Kredit Semester (SKS) dan Sistem Indeks Prestasi Kumolatif (IPK).
Kedua, mahasiswa
kontemplatif; mahasiswa terus merenung dan berpikir dengan penuh perhatian
apakah akan melakukan tindakan-tindakan nyata atau terus berkontemplasi. Ketiga, mahasiswa oportunistik atau yang
sering kita kenal dengan mahasiswa kupu-kupu; mahasiswa yang hanya pulang-pergi
ke kampus untuk belajar, ingin cepat lulus, dan tidak mau ambil pusing dengan
masalah organisasi dan kehidupan disekelilingnya.
Keempat, mahasiswa partisan; mahasiswa yang mempunyai
kesenangan dan ikut-ikutan meramaikan kegiatan yang ada dalam kampus yang
diadakan oleh organisasi mahasiswa, tapi enggan apabila dipercaya untuk menjadi
pemimpin atau panitia dalam sebuah event. Mahasiswa tersebut tidak mempunyai
komitmen dengan organisasi. Singkatnya, organisasi hanyalah sebagai tempat
hiburan dan bersenang-senang dengan mengadakan pesta dan lain sebagainya.
Padahal organisasi sangat erat kaitannya dengan konsep
manajemen yang terdiri dari planning,
organizing, actuating, controlling, dan evaluating. Jika hal tersebut tidak terkonsep
dengan baik dalam diri mahasiswa, maka mahasiswa akan mengalami kesulitan dalam
menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Mahasiswa sebagai pengemban
perubahan, penyambung lidah dan pejuang nasib rakyat hanyalah sebatas harapan
dan mimpi.