“Orang sukses adalah mereka yang melihat kesempatan dalam
kesempitan, dan orang gagal adalah mereka yang melihat kesempitan dalam
kesempatan,” (Chabib Musthafa).
Ungkapan tersebut dikatakan pada Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Ara-Aita Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel
Surabaya yang melaksanakan tasyakkuran atas hari jadinya yang ke-33
tahun di daerah Margorejo Gang II No. 011, pada hari Rabu, 15 April 2015. Dalam
kesempatan tersebut, Chabib Mustafa tak henti-hentinya memberikan motivasi dan
semangat kepada crew Ara-Aita yang hadir.
“Orang bisa dikatakan sukses apabila dia sanggup
melakukan sesuatu yang sama dengan orang lain tapi dengan cara yang berbeda dan
dalam perspektif berbeda pula, misalnya ada dua orang yang sama-sama membaca
buku, tapi salah satunya lebih memahami isi buku dan melakukan kajian-kajian.
Sedangkan yang satunya hanya membaca tanpa memahami dan sukar untuk melakukan
kajian,” ungkapnya.
Nasehat tersebut semakin
memperkuat tekad untuk tetap berproses di Ara-Aita, walaupun banyak
cobaan-cobaan yang harus dilewati tapi harus tetap dijalani dengan penuh
keteguhan hati dan keikhlasan. Semua angkatan mempunyai cerita yang berbeda
dalam berproses di Ara-Aita, tapi semua proses pasti bermuara pada satu titik,
yaitu kesuksesan.
Rafa salah satu senior Ara-Aita
yang kini menjadi wartawan di Koran Tempo, juga turut memberikan motivasi dan
pengalamannya selama berproses di Ara-Aita. Ia mengungkapkan bahwa berproses di
Ara-Aita sangatlah sulit, apabila ada mahasiswa yang tidak sungguh-sungguh
berproses di Ara-Aita maka dengan sendirinya dia akan keluar dari barisan. “Banyak
teman-teman kami yang keluar dari Ara-Aita karena tidak tahan dengan didikan
yang ada di Ara-Aita,” ujarnya sembari mengenang kembali masa lalunya ketika
belajar di Arta.
Lebih lanjut, alumni angkatan
tahun 2007 ini menuturkan tentang pengalamannya pada saat berproses di
Ara-Aita. Banyak pengalaman pahit dan manis yang dia rasakan bersama
teman-temannya, mulai dari sikap senior yang keras saat menekan para kadernya
untuk belajar, hingga kebersamaannya bersama teman-temannya. Bahkan menurut
Rafa pernah pada suatu ketika pada saat hendak belajar ke rumah salah satu
senior ia terpaksa harus berjalan kaki sekitar 15 Km menuju rumah salah satu
seniornya, namun setibanya di sana ia bersama teman-temannya dibiarkan duduk di depan teras saja sampai Subuh dan
akhirnya ia pun pulang.
“Berproses di Ara-Aita
sangatlah kejam. Kami berangkat ke rumah Cak Chabib dengan jalan kaki pada jam
18:30 wib untuk belajar tapi kami hanya dibiarkan menunggu sampai Subuh,”
ungkapnya ketika bercerita dengan crew new news.
Tidak hanya itu, ia pernah
disuruh untuk menulis berita dalam kurun waktu satu sampai dua jam. Selain itu,
tidak sedikit berita yang telah ia buat dihapus dan disuruh membuat kembali
berita yang telah diperoleh. Perlakuan semacam itu hampir setiap hari ia
dapatkan dari senior. “Pernah suatu ketika kami terlambat menulis berita, Cak
Chabib datang ke basecame Ara-Aita meminta kami untuk menyelesaikan
tulisan kami hanya dalam waktu satu jam setengah,” imbuhnya.
Walaupun demikian, Rafa
mengaku bahwa ia tak pernah patah arang, ia menjadikan hal tersebut sebagai
cambuk yang terus memotivasinya untuk belajar. Tapi tidak sedikit teman-temannya
yang tidak tahan dalam berproses sehingga memilih untuk keluar dari Ara-Aita. Dari
yang awalnya 30 orang hingga tersisa sekitar 7 orang yang tetap kuat beproses
hingga akhir.
Rafa menegaskan bahwa dengan
didikan seperti itulah, ia dan teman-temannya secara tidak langsung telah diajarkan
bagaimana cara belajar dengan baik. Banyak sekali ilmu dan pengalaman yang ia
dapatkan selama berproses di Ara-Aita. Apa yang ia dapat hari ini tidak lain
dan tidak bukan berkat Ara-Aita. “Kami mendapatkan ini semua bukan dari bangku
kuliah tapi semua ini kami dapat dari Ara-Aita,” jelasnya.