
Selain itu, saya punya seorang dosen luar biasa
(DLB), dan dia memang luar biasa. mungkin dia adalah salah satu alumni terbaik
yang pernah dimiliki UIN Sunan Ampel Surabaya. Dia sempat menjadi host di
berbagai acara televisi nasional. Seorang trainer, motivator, public speaker
yang amat handal, juga pemilik sebuah event organizer besar yang
bolak-balik jadi langganan berbagai perhelatan besar mulai dari instansi
pemerintahan hingga partai politik. Ketika dia masuk kelas, tampilan, performa,
intonasi bicara, outfit, hingga suara decit sepatunya mampu menyihir
teman-teman sekelas saya untuk berebut duduk manis di barisan depan. Memasang
muka se-antusias mungkin. Saya tentu saja seperti biasa cuma terkantuk-kantuk
di bangku pojok belakang. Reputasi beliau adalah mampu mengorbitkan anak-anak
berbakat hingga melejit sukses di dunia media dan entertaiment. Tak heran
mengapa kawan-kawan saya begitu getol ingin tampil enerjik, cerah, berbakat dan
meyakinkan di depan beliau. siapa tahu dirinya adalah seorang yang beruntung
untuk diorbitkan. Saya yang dekil, rusuh, kampungan, sering terlambat, ngantuk
dan kumus-kumus, tentu dalam hal ini adalah pengecualian.
Bu Cita, begitu kami memanggil beliau, mengatakan di
awal-awal masa perkuliahan, bahwa beliau memang berniat untuk mendidik dan
menciptakan seorang Artis. Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan manner
adalah segalanya. mungkin kawan-kawan menangkap image seorang artis itu
adalah pesohor publik yang bermata cerah, punya kulit sebening buah langsat,
dan bibir mengkilap seperti habis makan pisang goreng tidak dilap. Muncul di
sinetron-sinetron dan panggung-panggung musik. Presenter terkenal, ataupun
penyanyi handal. Kalo tidak main film ya merilis album. Mungkin di kepala
mereka muncul gambar-gambar seperti Dian Sastro, Agnes Mo, ataupun Anggun C.
Sasmi. Lain kepala saya yang langsung memunculkan para pelukis terkenal abad
renaissans Michaelangelo (michael) Bounarroti, Rafaello (Rafael) Santi, Donato
(Donatello) di Nicoolo, Fra Bartolo (Bartholomew) mmeo. Dan sang pencipta
lukisan mistis legendaris “monalisa” Leonardo da Vinci begitu mendengar
kata-kata Artis.
Selain masalah redirect link yang menyebalkan,
Saya pribadi, dan—begitu juga saya sarankan—seluruh kawan-kawan mahasiswa tidak
perlu meributkan soal para artis ataupun orang-orang diatas sana yang sok ngartis
demi sebuah aji bernama popularitas. Selain kemudian kita adalah wong
cilik, kita juga patut memahami bahwa demikianlah alamiahnya jagat
keartisan. Selalu dipenuhi oleh sensasi-sensasi sesaat yang amat bombastis.
Yang juga nanti pada akhirnya layu tenggelam seperti kerupuk kehujanan. Artis
dan pelanggaran moralitas sepertinya adalah saudara sekandung. Tidak usah saya
sebutkan lagi berapa kasus anak pejabat yang kena masalah pelanggaran lalu
lintas saat merayakan malam tahun baru maupun touring dengan kelompok moge-nya.
Masyarakat dan orang-orang di warung kopi tempat langganan saya setiap pagi
rutin membaca berita sambil mengelus-ngelus dada. Dengan ekspresi terperanjat,
terbelalak dan suara gumaman ckckck saat membaca laku para pesohor tersebut
menghiasi headline koran . Namun lama-kelamaan ya merekapun akan maklum,
melupakannya, dan kita pun akan sama-sama berseloroh “namanya juga artis.”
Namun tentang fenomena artis dan ngartis yang
saat ini mewabah akut di kampus tercinta, ini baru menjadi urusan kita, para agent
of change dan agent of social control. Bukannya saya kemudian
mengajarkan untuk menjauhi sama sekali hal-hal yang menyangkut Ekshibisi maupun
Showbiz. Itu merupakan hal yang layak untuk kita pelajari dan kuasai
apalagi sebagai kaum muda muslim yang dituntut mesti progresif dan reaktif
dalam menjawab tantangan zaman. Namun yang berusaha saya katakan disini adalah
ada kekeliruan kaprah dalam pemahaman kita bahwa Artis adalah selebritis, Sosok
figur yang menghiasi perayaan-perayaan, perhelatan-perhelatan, moment-moment,
dan event-event. Mestinya kita harus pahami bahwa Artist adalah seorang
seniman. Kreator dalam berbagai lini kehidupannya masing-masing. Artis dan Seni
juga tidak melulu soal lukisan seperti Leo, Don, Rafael, Michael, dan Fra.
Siapapun yang mampu mengkreasikan berbagai hal menjadi sesuatu yang baik dan
bermanfaat, plus indah dan mengagumkan, adalah artis. Abraham Lincoln adalah
Artisnya Demokrasi, Martin Luther King adalah Artisnya HAM, Mahatma Gandhi
adalah artisnya Kemanusiaan, Adam Smith adalah artisnya ekonomi dan pebangunan,
sama seperti iwan Fals yang merupakan artisnya suara sumbang khas kritik
perlawanan, dan bang haji Rhoma Irama yang merupakan artisnya musik dangdut
indonesia.
Yap, Mahasiswa UINSA harus menjadi artis, seperti
kata bu Cita. namun artis dalam bidangnya sendiri. dalam karakternya sendiri,
dalam lini kehidupannya sendiri. artinya mampu menjadi kreator dan initiator.
Tidak perlu repot-repot berusaha menjadi orang lain, kecuali memang punya
tampang, suara, dan kesempatan yang mirip Dian, Agnes dan Anggun. Tiga figur
ini saya rasa yang mewakili artis dalam dunia hiburan. Mereka mampu menjadi
tenar dengan skill, kerja keras, dan komitment. Tidak bergantung pada Bom-Bom
sensasi sesaat yang tak bisa diharapkan keberlangsungannya. Seperti para pesohor sok ngartis yang
senantiasa menghiasi feed-feed saya.
Siapapun kita, Mahasiswa, Mahasiswi, lembaga,
organisasi maupun komunitas tak perlu risau tentang bagaimana eksis dan menjadi
terkenal. Selama kita mampu mengkreasikan sesuatu yang bermanfaat, saat itulah
kita telah menjadi artis. Yang kurang cantik tidak perlu frustasi berlebihan
menghamburkan uang untuk membeli seperangkat kosmetik. demikian organisasi
tidak perlu jor-joran menghabiskan dana jutaan rupiah hanya untuk mengejar
sebuah event demi tenar sesaat. bentuklah karakter, berani menentukan ruang dan
waktu tempat berpijak, berani mengambil sikap, memilih di sektor mana akan
berkreasi, serta di lini mana akan berjuang, maka disitulah kita akan tetap eksis
ditepuk-tangani orang ataupun tidak.
Hal lain
yang perlu diingat kerja seorang kreator adalah terus-menerus, berkesinambungan,
kontinyu, dan istiqomah. Bukan timbul tenggelam mengikuti warna kalender. Kalau
menahbiskan diri sebagai pembela kaum buruh, ya tidak usah nunggu satu mei. Kalau
ingin jadi perempuan inspiratif, tidak perlu menunggu 21 April. Jangan menjadi
orang yang musiman, dan lembaga yang sekedar even-evenan, hilang momentumnya,
hilang pula semangatnya. perubahan besar tidak akan tercapai dengan semangat
yang angin-anginan. Jadilah Artis yang berafiliasi dengan Art (seni)
bukan artis yang cenderung ke Celeb (perayaan). Karena seluruh lini
kehidupan ini, ada seninya.
Jadi,
Ayo sama-sama jadi artis!
Taufiqurrahman.
taufiqtheavenger@gmail.com