
Kalau rasa geram, saya pikir iya. Apa yang dimaksudkan
oleh Arief Budiman mengenai seorang sastrawan ‘kiri’ yang begitu dekatnya dia dengan
situasi lingkungan atau konteks dimana ia berada dalam sekup sosial, akan
terlihat dari karya-karya ciptaannya. Maka saya pikir tak ada yang lebih legam atau
lebih kere lagi dari substansi yang
ada disekitar kehidupan saya, yang mana bisa pula menjadi bahan tulisan.
Dinamika yang terjadi dalam kehidupan saya mengenai
kampus, propaganda organ ekstra, tugas kuliah dua hari yang lalu, agitasi,
radikalisme berformat diskusi tugas kuliah, cinta bertepuk sebelah tangan, gerombolan
se-ideologi, revisi makalah, gelandangan, makanan sisa semalam, politik,
semuanya tak pernah kurang dari kehidupan saya, begitu pucat dan penat memenuhi
setiap neuron-neuron di kepala saya, lantas memuakkan. Mungkin bisa dikatakan
tidak ada yang disebut kurang dari bahan baku tulisan saya, jika saya mau
menulisnya, atau malah ini lebih dari cukup untuk membuat sebuah tulisan yang
atraktif dan mengguncang dunia, atau terlalu muluk mungkin, minimal mampu membuat geram para manusia-manusia
konservatis dengan aksesoris jenggot yang gemar meneriakkan parau yel-yel; khilafah till die di sablonan kaos futsal antar kampung
mereka, seperti yang dimuntahkan oleh Ulil dalam opini Harian Kompas 14 tahun lalu. Atau seperti kilah
Syekh Siti-Jennar dalam perwujudannya melawan hegemoni strukturalis rezim Sunan
Drajat.
Tapi tetap saja, sekalipun bahan baku ada hingga melimpah ruah, tulisan tetap
saja tak mampu tertuang dalam kalimat-kalimat berbanjar yang rancak untuk
dikecap para pembaca yang tengah berfikir ataupun melamun. Atau jangan-jangan
memang motivasi itu sendiri yang sebenarnya menjadi pokok masalah. Jika
dorongan yang dimaksudkan itu adalah pangkal dari segala sesuatunya, yang
membuat sesorang menjadi tergerak melakukan sebuah aktivitas yang kongkret.
Mungkin saja ketidakadaan hal yang menjadi pendorong itu sendiri adalah sebuah
jawaban atas ketidakmampuan saya untuk mengaktualisasikan apa keinginan saya.
Lantas dorongan yang dimaksudkan itu apa? Itu pertanyaan susulannya.
Bisa saja karya tulis itu lahir dari dorongan akan
pengharapan sebuah pujian atau ucapan selamat muncul dari mulut seseorang, atau
hal lain, dorongan menulis itu muncul karena mendapat sejumlah uang dari hasil
publikasi tulisannya. Itu sederhana, dorongan yang dimaksud berasal dari apa
yang menjadi keinginan semata dalam diri. Lantas bagaimana jika duduk
perkaranya seperti pemerkosaan yang dilakukan tiga orang preman terhadap wanita
dengan tinggi semampai yang terjadi di suatu siang yang begitu terik di depan
gapura masjid yang megah bak kastil. Kira-kira dorongan apa yang membuat ketiga
preman tersebut tak lagi segan meluapkan nafsu hewaninya. Ternyata begitu
kompleksnya sebuah dorongan atau drive
yang dimaksud, memaksa postulasi ini memunculkan kemungkinan berlanjut, yaitu
adanya dorongan yang bersumber dari luar dirinya tidak hanya dari dalam dirinya semata. Maka untuk kembali menakar
kasus pemerkosaan di gapura masjid itu, bukan hanya unsur libido semata yang
muncul tidak pada tempatnya dari dalam diri ketiga preman itu yang
mengakibatkan aksi pemerkosaan itu terjadi. Tapi bisa saja kemungkinan kedua
yang paling banyak mendasari. Lebih tepatnya apa yang membuat nafsu libido itu
terpantik. Jangan-jangan perempuan itu yang memang keranjingan birahi sengaja
minta digagahi karena nafsu libido yang sama, atau karena bentuk payudara yang mencungul dari ketatnya kaos oblong yang
ia kenakan siang itu. Entahlah saya hanya mencoba memetakan kekalutan pikiran
yang tak lagi berani dibuat sebagai jaminan oleh sahabat-sahabati mahasiswa
kita dalam sebuah jargon ucapan salam ketika hendak memulai diskusi dengan,
“salam kebebasan berfikir!”
Usut punya usut, menindaklanjuti perkara yang baru saja
meneror, tentang pemerkosaan di gapura masjid, ternyata wanita yang diperkosa
beramai-ramai secara bergiliran oleh ketiga preman itu merupakan seorang tuna
wisma yang kebetulan memiliki gangguan jiwa, namun dibalik keterbelakangan
mentalnya wanita itu memiliki tubuh yang aduhai sedapnya dengan payudara
montoknya jika sedikit saja Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dinas Sosial (Dinsos)
setempat mau merawatnya, sekedar memandikannya dengan menyemprotkan air PDAM
rutin ketubuhnya. Mungkin tidak hanya preman-preman di sudut kelam jalan yang
akan rutin menggagahi setiap hari, tapi petugas Satpol PP atau aparat
kepolisian yang sering menggelar razia penyakit masyarakat juga tidak akan
segan mencicipi hangatnya kepitan payudara montok sang tuna wisma hasil
cidukkannnya.
Bukan aksi pemerkosaan, ketika tiga pria yang baru saja
menunjukan kejantanannya itu memaparkan keterangannya pada kepolisian setempat.
Seorang dari mereka mengatakan kalau wanita gila pada siang hari itu tiba-tiba menyingkap
kaosnya dan memamerkan payudara gedenya
di hadapan preman yang ketika itu tengah memanjat pagar gapura masjid yang
terbuat dari terali besi rapat setinggi 4 meter. Semakin berkembang kasus yang
semula dianggap masalah moralitas biasa, preman kedua yang mengaku telah menggagahi
selama 1,5 jam itu kalau semula mereka bertiga hendak buang air besar ke kamar
mandi masjid. Dikarenakan pintu pagar terkunci mereka memutuskan untuk memanjat
karena tak kuat menahan sembelit mau buang air besar. Belum sampai pada tujuan
awalnya untuk buang air besar, rejeki nomplok
pun tiba ditengah-tengah teriknya sang surya. Preman ketiga memaparkan kalau
mereka bertiga menggagahi wanita gila itu di sebuah ruang kecil di gapura
masjid yang tak lagi terpakai, dan ia mengaku kalau ruangan itu tak pernah ada
orang yang pernah masuk, sekalipun takmir masjid sendiri.
Begitu kompleks kasus tersebut, membuat aspek dorongan
yang dimaksudkan pada bagian awal tadi mendadak kabur dimana letak preposisi
sebenarnya. Ketika pemaparan muncul satu per satu dari mulut preman yang
memerkosa wanita gila itu. Tambahan keterangan baru dari pihak kepolisian yang
baru saja dilansir Ba’da Isya tadi, jika wanita yang semula statusnya sebagai
korban pemerkosaan itu dinyatakan positif menderita gangguan jiwa dan tidak mampu
menceritakan kronologi peristiwa siang itu karena ketidakmampuan wanita itu
berkomunikasi secara normal seperti orang pada umumnya. Akhirnya ketiga preman
tersebut dinyatakan tidak bersalah dan resmi dilepaskan atas kekuatan hukum
yang berbunyi perbuatan tidak senonoh atas dasar saling suka bukan termasuk perbuatan
melanggar hukum.
Demikian kompleksitas yang muncul. Letak kemungkinan yang
menjadi acuan dasar bagaimana dorongan itu muncul sangat relatif sifatnya,
seakan-akan tidak ada landasan yang asasi sebagai jaminan jika kemungkinan itu
adalah salah satu sumber munculnya dorongan. Nampak jelas jika dorongan itu
ada, entah jika ukuran dorongan itu mau ditakar lagi dengan ukuran baik dan
buruk. Tapi kebingungan akan muncul kembali jika dorongan yang dimaksudkan itu
benar-benar tidak ada, atau nihil adanya, namun ajaibnya implementasi bisa
muncul dari ketidakadaan itu.
Bagaimana dengan dunia sastra atau seni dalam dimensi
histori yang pernah mengakar di negeri ini.
Apakah salah, sebuah tulisan muncul atas dasar bukan
karena apa-apa, dan tidak untuk apa-apa. Apakah salah tulisan muncul
kepermukaan hanya dengan membawa secarik rekap peristiwa yang benar-benar
pernah terjadi sekaligus benar-benar tak akan pernah diketahui banyak orang,
apalagi dalam karakter masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, kalau tidak seorang
penulis itu sendiri yang merekapnya kemudian menampilkannya dalam kemasan yang
indah lantas siapa lagi
Sastra itu ada karena pergulatan dengan kehidupan.
Mustahil jika seorang penulis akan kehabisan ide jika ia dekat dengan seluk
beluk dan dinamika kehidupannya atau orang-orang disekitarnya. Kritik ideologi
sastra yang terkesan radikal dari Pramudya Ananta Toer pada rezim orde lama
tahun 60an terhadap karya sastra Indonesia masa itu dimaksudkan sebagai
antitesa pemikiran dari kelompok seni tandingan Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) yang mengatasnamakan diri mereka Manifes Kebudayaan (Manikebu). Orde
lama masih dalam suasana pergolakan paska kemerdekaan, Indonesia masih
begitu muda dengan berbagai macam bentuk ideologi yang hendak diujicobakan sebagai
ladasan berbangsa dan bernegaranya. Manikebu meluapkan kritik berkesenian ala
mereka yang ditujukan atas bentuk interupsi terhadap karakteristik seni yang
dibaiat secara komunal oleh penganut Lekra sebagai ideologi berkesenian mereka.
Bahwa seni harusnya murni sebagai kepentingan universal bukan sebagai
kepentingan kelompok atau golongan tertentu, apa lagi yang berhaluan politis
tertentu.
Pernyataan menentang dalam deklarasi pembentukan Manikebu
ditandatangani dengan semangat membara atas situasi politik yang gempita oleh
golongan muda; Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Arief Budiman, Sapardi Djoko Damono,
dan golongan tua; Wiratmo, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo dalam pertemuan
bertanggal 17 agustus 1963 di Jalan Raden Saleh kediaman Bokor Hutasuhut.
Pergulatan seni pun terjadi paska deklarasi Manikebu,
Lekra bukan lagi menjadi lembaga seni satu-satunya di Indonesia yang berbicara
soal seni. Ideologi Manikebu dalam berkesenian memiliki maksud menempatkan diri
sebagai entitas tersendiri yang murni tanpa ada tedeng aling-aling seperti
Lekra, yang dianggap terlalu sarat akan muatan politis dalam setiap produktivitas
seni atau karya sastranya. Lekra dimata orang-orang Manikebu terlalu naif
mengidentikkan seni sebagai alat untuk menebar propaganda dan kepentingan
politik dari Ideologi Sosialis. Tuduhan mau tak mau ditelan mentah-mentah
karena paska pemilu 1955 Lekra menjadi tandem terbesar partai berlambang Palu
Arit, Partai Komunis Indoensia (PKI), yang mengukuhkan PKI menjadi salah satu
dari jajaran lima partai besar, meskipun ditentang keras kemudian oleh Njoto
ketua umum Lekra pusat dengan dalih jika seni ala Lekra adalah seni untuk
perjuangan, bukan seni untuk seni seperti yang telah dipertegas Pram, seni ala
Lekra adalah alat menyampaian sebuah kata merdeka dari penindasan dalam bentuk
apapun, fisik ataupun pemikiran. Justru kemudian Lekra mengkritisi kembali
esensi dari berdirinya Manikebu sebagai organisasi yang tak mendukung sama-sekali
perjuangan bangsa Indonesia
melawan hegemoni negara penjajah.
Tak bisa menafikkan pergulatan seni yang pernah terjadi
dalam masa orde lama itu, antara Lekra dan Manikebu, dua buah gerbong besar pembawa
entitas berkesenian ala Indonesia, dengan tak sedikit pembawaan rasa sakit,
getir, anyir, dan luka sobek, dan penebasan tunas-tunas baru cikal bakal
pemikiran, sebenarnya mencoba mensintesiskan kembali apa yang dikeluhkan
Boudrillard mengenai sastra yang tumbuh dan bersemi dalam struktur masyarakat pembangunan
dunia ketiga. Apresiasi seni bukan atas rekayasa tepuk tangan penonton seperti
di acara musik pagi hari di RCTI, apresiasi seni bukan seperti transaksi sebuah
barang atau jasa pada umumnya, apresiasi seni bukan pertukaran antar produk
seni dengan nilai, rupiah, ukuran, apalagi dengan cara tawar menawar. Melainkan
seni harus ditukar dengan seni itu sendiri, jika memang harus ada bentuk
sebagai alat tukar atas pengejawantahannya, maka bentuk seni itu sendiri yang
harus dibayarkan terhadap seni. Karena seni itu sendiri ternyata tidak selalu
bebas nilai, maka untuk pengkategorian seni, tidak hanya berhenti sampai kepada
pencarian status ontologi dari seni yang dimaksudkan itu sendiri. Pertanyaan
susulan mengenai bagaimana seni yang dimaksudkan tadi bisa muncul dan tercipta
akan menghantarkan kita pada prosesi paling akhir dari sebuah pengetahuan itu
ada, dimana prosesi ini merupakan tahapan paling nyi-nyir dari kenyataan yang paling empiris sekalipun, pertanyaan
curiga akan muncul; atas dasar kepentingan apa seni itu ada dan sengaja dibuat?
Atau jangan-jangan ada seseorang yang sedang memesannya.
Salah seorang senior saya yang bisa dikatakan lama
tenggelam dan berektase dalam dunia seni di Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel
pernah menyisahkan sekelumit konsepsi berkesenian dalam dunia seni peran ataupun
sastra yang ia geluti. Tak dapat disangkal memang jika seni merupakan rekap
sejarah yang pernah hadir dalam realitas kehidupan, namun bagaimana cara
realita itu bisa diingat, ditelusuri, ditarik dan dihadirkan kembali dalam
bentuk utuh adalah sebuah pertanyaan mendasarnya. Jika saja alam bawah sadar tidak
terlalu bersih keras untuk mengembalikan dan mengubur dalam-dalam pengalaman
yang sepersekian detik saja dirasakan oleh alam sadar, mungkin cukup mudah pengalaman
itu diunggah kembali ke alam sadar, sekalipun harus melintasi penjagaan ketat
untuk menyortir pengalaman apa kiranya yang tidak ataupun pantas ditampilkan
kembali oleh ambang sadar. Namun ada sebuah cara jika pengalaman itu terlanjur
terpendam begitu dalam, terkunci pada sebuah peti mati, dan dimakamkan di
kompleks pemakaman alam bawah sadar. Dengan, memaksa diri mengikuti ritme
meditasi untuk mengingat-ingat kembali.
Di dalam meditasi, kita mulai bercengkrama dengan entitas
yang sudah ada ataupun dengan entitas yang sebelumnya tidak pernah ada dalam
diri sendiri. Meditasi memaksa kita untuk melibatkan diri dalam dinginnya diam
dan sejuknya damai. Dalam keheningan tubuh ini sepertinya begitu ringan untuk
menggali perlahan-lahan pengalaman yang terpendam dalam gundukan tanah kuburan
masal di kompleks pemakaman alam bawah sadar. Satu per satu pengalaman akan
muncul, sebuah rekap adegan peristiwa yang beragam bentuknya mulai dari yang
utuh atau sepotong-potong akan tersaji diingatan sadar selama proses meditasi
berjalan.
Namun bahan makanan yang telah tersedia lengkap diawang-awang
memunculkan pertanyaan susulan, bagaimana cara mengolah, mengemas, atau
menghias kembali pembungkus pengalaman-pengalaman yang telah tersaji dihadapan
spektrum pikiran kita, menjadi sebuah hidangan lezat bagi setiap orang di
sebuah meja makan dalam ruangan bernamakan alam sadar. Ia menandaskan jika
tahapan paling menentukan berikutnya untuk menghidangkan kudapan seni yang
rancak dari sisa-sisa pengalaman yang tak lagi utuh adalah proses kreatif.
Proses kreatif bisa dikatakan sebagai pangkal dimana
hasil dari mengingat kembali paska pergulatan dengan diam dan keheningan damai akan
ditakar pada bagian mana yang harus dikurangi atau ditambah sebagai bentuk
upaya pengemasan kembali pengalaman itu sendiri. Bisa dianggap juga proses
kreatif sebagai eksekusi akhir yang paling menentukan sebuah penilaian dari
seni, apakah seni itu bisa diapresiasi, indah, atau hal lain sebaliknya, namun
sepertinya kita telah mensepakati untuk tidak sedang berada dalam arus
pemikiran radikal yang lazimnya kita gunakan untuk menggunjing sebuah status
quo ideologi atau dogma.
Dalam perbincangan seni
seyogyanya kita tidak mendikotomikan apa yang harusnya diapresiasi menggunakan
perbendaharaan kata antara bagus atau buruk. Dalam perbincangan serius mengenai
seni, kita tak selancang itu menggunakan asas kontradiksi yang tak asing pula
dalam pergunjingannya mengenai ideologi yang menghipnotis penganutnya menjadi
ortodoksi marxisian seperti yang ditesakan kembali oleh anak seorang Pegawai
Negeri Sipil (PNS) pemerintahan Tsar Alexander yang lahir di Ulyanovsk abad 19.
Lagi pula seni bukan sebuah pertaruhan gengsi di sebuah
papan permainan mahyong. Seni bukan
berangkat dari asumsi awal soal taste
atau kegemaran yang sifatnya mempribadi antar individu. Tapi tidak menutup
kemungkinan akan hal itu. Apresiasi seni bukan suatu bentuk assassement atau tahap mengamati objek dengan
memanfaatkan ketinggian sebuah gedung yang dinamakan paradigma. Bukan berarti
salah, namun cara melihat semacam itu berpotensi mengaburkan substansi yang
hendak disampaikan oleh si pembuat, dari syahdunya meditasi dan pergulatan
batin untuk menentukan proses kreatifnya.
Seni tidak mampu diidentifikasi sebagai keselarasan warna
dan bentuk, seni bukan disusun dalam kata-kata indah, karenanya memang bukan
untuk itu seni dibahasakan. Seni bukan mencari pada bagian mana letak keindahan
itu berada, lantas merumuskannya, seni bukan berarti bertautan antara objek-objek
tertentu yang dianggap atau sekaligus diklaim sebagai bentuk yang indah. Tapi
apa boleh buat, terkadang kita terjebak dengan pengandaian seni itu sendiri.
Indah adalah definisi paling kongkrit dari upaya penjabaran seni, tapi indah
yang dimaksud oleh kebanyakan dari kita pada saat yang bersamaan telah
mengaburkan prosesi apresiasi kita terhadap seni.
Tidak bisa dipungkiri memang, seni terkadang
membingungkan bagi sekelumit dari kita yang sadar. Disatu sisi kita melihat
karya seni dalam proses penciptaannya begitu kompleks menggambarkan sejarah,
pengalaman, atau peristiwa yang beberapa tahun, bulan, minggu, hari, jam yang
lalu terjadi secara nyata, dan begitu dekat dengan afeksi si pembuat. Namun
terkadang seni juga hadir dengan cara pencapaian ektase yang ekstrim dengan berupaya
secara keras mencarikan bentuk-bentuk yang dianggapnya serasi dan nampak indah
karena pada saat itu pula mereka tau bahwa yang hadir dalam pameran, pagelaran
atau pementasan adalah manusia-manusia yang telah memiliki konstruk definisi
seni adalah dan sama dengan indah, dan harus berasal dari yang indah-indah.
Jika seni merupakan sebuah pergulatan dengan kehidupan
seperti yang diafirmasi oleh Pram dan kolega-koleganya di Lekra. Atau seni
harus merepresentasikan latar belakang dari si pembuat karya seni seperti yang
diaforismekan oleh Areif Budiman sebagai sastrawan kiri yang ‘kere’. Maka
kebingungan menginterpretasi seni; apakah sebagai cara menampilkan sisi lain
yang tak terjamah, atau sebagai suatu rumusan yang pasti terjadi, menyudutkan kita
semua dengan pilihan cara bagaimana untuk melihat seni, bagaimana seni itu bisa
ada, dan untuk apa seni itu ada. Jelas upaya mendefinisikan seni dengan definisi
klasik, mengenai yang indah-indah tak
bisa diejawantahkan kali ini. Mungkin seni yang dimaksud Bambang Sugiharto
dalam buku terbarunya yang tidak saya temukan dimesin pencari katalog di
pepustakaan kampus bisa sedikit meredakan sakit kepala karena dilema membedakan
mana ranting mawar merah dan mana ranting mawar melati.
Tawaran konsep berkesenian ala Lekra, saya pikir sebagai
bentuk kongkret dari pendirian seorang seniman. Bagaimana tidak, dalam beberapa
atau sebagian besar karya sastra, lukisan, lagu atau seni pahatan yang dibuat
seniman lekra, seakan akan sudah mengesampingkan apa itu metafora-metafora. Tidak
ada lagi majas personifikasi sebagai peredam luapan amarah dari seorang seniman
yang merepresentasikan apa yang ada dalam dirinya atau sekedar bahasa yang diperhalus
untuk menutupi maksud kasar yang hendak dimuntahkan. Lekra memang mengakui
tidak lagi segan jika diksi yang dipakai dalam setiap karya sastra harus
selugas itu, karena itu adalah karakteristik berseni mereka, bukan berarti cara
seperti itu mengesamping aspek seni yang universal pada umumnya, justru Lekra
bermaksud menampilkan seni sebagaimana seni diperuntukkan merekap atau
menampilkan kembali realita atau konteks yang ada pada masa itu. Kita tau Indonesia paska
kemerdekaan belum seutuhnya rakyat kita menikmati sejuknya angin lembah
perdamaian, atau tanah yang lenggang untuk kuda-kuda hutan yang liar, dan
luasnya cakrawala memandang perbukitan tanpa sekat pagar pembeda ras dan agama.
Dengan segala keterbatasan yang ada pada negara jajahan yang baru seumur jagung
itu merdeka, jika seni didefininsikan sebagai alat perjuangan, maka disitulah anyir
darah yang bercipratan di kanvas para pekerja seni Lekra menyuguhkan tanda
tanya hitam dan berdebu, atas dasar apa pembantaian mengatasnamakan kesamaan gaya berfikir mereka
dengan PKI dan pemenjaraan besar-besaran atas orang perorangan terjadi pada
mereka.
Lekra bukan bermaksud ikut aras kepentingan ideologi sosialis
berpijak. Lekra bukan sebagai organisasi yang berisikan misonaris marxisian. Melainkan
Lekra ingin menyuguhkan konsepsi seni yang tidak lagi pantas jika masih berkutat
pada pemilihan diksi anggur dan wewangian kasturi seperti karakterstik seni
Manikebu. Seni sebagai perjuangan adalah seni yang mampu menyuguhkan kenyataan
hipotetik mengenai apa yang terjadi pada masa itu, dan kontekstual itulah yang
dimaksud. Maka pantas saja Manikebu harus menerima bogem mentah dari pendirian
radikal mereka terhadap seni humanis yang universal, yang mencerminkan seni
yang terlalu akrab dengan hal yang mewah-mewah, khayalan, elitis dan
individualis.
Karena memang benar Lekra dalam karyanya kerap
menggambarkan kenyataan yang naturalistik mengenai kondisi yang terjadi di
negara ini, apa yang dialami oleh para petani, para buruh dan rakyat jelatah
ketika itu. Dan itu jelas bahwa seni secara definitif bukanlah berbicara mengenai
yang indah-indah, melainkan seni berbicara mengenai kompleksitas hidup yang tak
pernah akan ada yang bisa memprediksi atau sekedar memetakannya. Begitu rumit
memang kompleksitas ang dimaksud, seperti halnya kasus pemerkosaan diatas,
bukan karena libido atau kerajingan nafsu semata dari ketiga preman itu, banyak
aspek yang turut membuntutinya, begitu beragam dimensi kehidupan yang turut
menjadi pembungkusnya, terkadang pembungkus tersebut menjelma bak renda-renda
hiasan yang tak akan pernah ada orang menolak akan keindahannya, atau tak
jarang pula pembungkus yang dimaksud menjadi berfungsi sebaliknya, malah
menjadi sebuah kerumitan lain yang membuntutinya. Apalah itu, kompleksitas
kehidupan yang selalu kita hirup sepnjang hari dan menjadikan kesibukkan kita
untuk mendefinisikan ulang apakah ini beraroma amis atau wangi, sepertinya itulah
yang dimaksud oleh seni mengenai sekelumit kompleksitas yang biasa ia bungkus
dari masa ke masa.*(Luhur)
Gresik, 16 Juli 2015