
Padahal jika
kita melihat kembali sejarah abad pertengahan, bagaimana sebuah bangsa romawi
yang sebelumnya tampil gagah dengan
keudayaannya yang sangat tinggi seketika saja hancur, tidak lain dikarenakan spiritualisme menggeser
budaya rasional masyarakat romawi kala itu. Sehingga tidak dapat dibendung lagi
yang dianamakan fenomena teks merajai konteks yang kemudian melahirkan ketertiduran
panjang dalam ilmu pengetahuan. Dan bayangkan umpama keberhasilan para raja
atau uskup Romawi dalam menundukan rakyat pada aturan gereja saat itu, terjadi
pula sebagai keberhasilan Rektor atau birokrat kampus saat ini
yang begitu getolnya mentransisikan mahasiswa menjadi mahasantri?.
Akan tetapi,
sampai saat ini mahasiswa yang katanya agent of social controll itu
masih adem anyem saja meskipun ditengah-tengah mereka sedang terjadi kediktatoran
pemikiran secara tidak langsung. Lebih tepatnya pemandangan yang dipertontonkan
mahasiswa saat ini lebih menyerupai pameran bisu. Tidak ada perlawanan serta
pemberontakan, lebih banyak mahasiswa
yang memilih sikap diam atau bersembunyi dibalik ketiak penguasa (Rektor,
Dekan, Aturan akademik, dan Dosen) seperti disinggung oleh Nitzsche mereka umpama mayat berjalan yang disiram oleh
parfum.
Dan sangat
disayangkan jika mahasiswa yang dalam fundamen histysnya dulu pernah diceritakan
pemberani, tidak pengecut dan mampu
memberikan pengaruh serta menggerakkan masyarakat disekitarnya, seperti contoh
Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang hidup dengan cara melawan sehingga membawa kememerdekakan
bangsanya. Sekarang justru berganti dengan generasi mahasiswa yang datang ke
kampus sekedar duduk manis dari pagi sampai sore, ngegosip, lalu pulang.
Meski pun tahu
didepan hidung mereka selalu disodorkan kepalsuan, mahasiswa saat ini tidak bisa
melakukan apa-apa, karena takut dikatakan amoral atau akan berpengaruh pada
nilai. Sehingga sekarang sudah jarang mahasiswa yang masih berani melakukan
debat sengit dengan dosen, menciptakan
suasana kelas yang gaduh yang penuh dnegan olah gagasan. Mereka hari ini lebih banyak yang setuju-setuju saja dengan stetment jika generasi tua (Guru atau Dosen) yang
selalu benar. Apalagi dalam prinsip pesantren pun murid harus selalu taqdim
(manut) kepada sang guru.
Padahal sikap
seperti itu bukanlah cara yang tepat, karena sebenarnya sebagaimana pernah dikatakan
Aristoteles bahwa imperium suatu bangsa terletak di pundak generasi mudanya.
Jadi sangat kolot apabila kita mahasiswa selalu berpikir yang tua (Guru atau
Dosen) yang selalu benar. Seharusnya sebagai
mahasiswa kita memiliki kesadaran kritis bukannya malah mentradisikan apa yang sudah ada . Kenapa
harus takut dikatakan tidak bermoral? Padahal yang tidak bermoral bukan hanya
mereka yang tak punya sopan santun saja, tetapi mereka yang tak mengakui
kesalahannya meski tau dirinya salah dia
juga tidak bermoral.
Katakanlah
para dosen atau petinggi kampus lainnya, mereka digaji bukan untuk menjadi kuli
kuli kurikulum yang bertugas hanya untuk menyampaikan kulikurum yang memang
sudah sedemikian adanya. Tetapi seorang pendidik adalah membuat mahasiswanya
pintar. Dan jika mahasiswa merasa belum pintar maka dia boleh mengkritisi
gurunya seperti halnya Aristoteles yang pernah menentang pemikiran Plato
sehingga ia pun menghasilkan pengatahuan yang baru berbeda daripada gurunya itu.
Lain dengan
kita pada hari ini, yang justru mau-mau
saja dijadikan burung- burung Uinsa yang sibuk mengerami di dalam sangkar agamanya.
Padahal Agama diturunkan tuhan buat manusia, dan bukan buat kepentingan tuhan
itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia, kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya
ia tak perlu apa-apa lagi. Lalu untuk apa lagi kita bermalas -malasan seperti ‘burung
nyanyi’ melagukan ayat Alqur’an tetapi tidak memahami, seperti yang dipaksakan si kuli-kuli kurikulum itu
terhadap kita ? Allah pun pernah mengingatkan kita ummatnya dalam kitab suci Alqur’an nya surat Al-Ma’un
diantaranya; “tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama?” Dan dalam surat
ini dijelaskan bahwa perbuatan malas, diamasukkan dalam kategori dusta itu
sendiri.
Ayat-ayat suci
sungguh bukan untuk dibaça, dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten
hingga tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan dilaksanakan.
Tidak penting menjadi burung nyanyi Uinsa. Pendeknya, justru tindakan dan amal kita seagai mahasiswa kampus islam,
serta relevansi social dari agama itulah yang seharusnya dilakukan. Jadi kamu
generasi muda, tanyakan pada hati terdalammu kampus tempatnya mahasiswa atau
mahasantri? *(Ila)
No comments:
Post a comment