Di saat aku ingin memakan sebuah mangga. Aku
bagaikan seorang ibu hamil yang lagi ngidam. Kemudian aku naik ke pohon mangga
yang berada di depan kantor. Ketika hendak meraihnya, batang pohon yang menjadi
pijakanku tak kuat untuk menahan berat badanku ini dan tak bisa di hindari aku
pun terjatuh. Bukan mangga yang aku dapat, melainkan rasa sakit yang aku
derita. Aku berusaha bangkit lagi demi keinginan yang tak kudapatkan. Ketika saat
mulai bangkit, aku terjatuh lagi, kakiku tak kuat menahan tumpuan berat badanku.
Tak lama terjatuh ternyata aku sudah ada dalam ruangan yang sudah tak asing
lagi.
Terbangun badanku terasa sakit sampai ke tulang keringku,
tak lama kemudian aku berusaha melihat sekitar ruangan itu ternyata sudah ada
orang yang sudah menunggu di depan mataku. Orang itu adalah dicky temen
sekantor yang akrab denganku.
Dicky memang selalu bersamaku selama aku bergabung
di kantor yang penuh dengan warna hijau itu. Kemudian, aku putuskan untuk keluar
dari kantor itu untuk berobat yang di temani dicky. Tak lama kemudian taxi yang bernopol L 3309 ML datang yang
sudah di pesan oleh dicky untuk membawaku ke sangka putung katanya orang-orang pengobatan kilat nggak pakek lama.
“Kenapa itu ?,” tanya seorang lelaki paruh baya.
“Habis jatuh dari pohon pak,” jawabku, langsung
duduk di lantai tanpa disuruh oleh lelaki tersebut, karena kakiku sudah tak
kuat lagi untuk berdiri.
“Udah dibawah ke dokter dulu nak ?,” tanyanya
sembari melihat kaki kiriku.
“Belum pak, ini saya langsung kemari sehabis jatuh,”
jawabku sambil mengerang kesakitan karena kakiku mulai di raba. Orang melihat
dan meraba seperti halnya uang palsu yang harus di periksa dan di teliti
untungnya tidak sampe di terawang.
“Oalah, saya tidak berani nak. Karena kayaknya,
tulangnya ini melingsih. Kamu bawa ke
rumah sakit dulu aja,” ucap lelaki yang biasanya disapa pak Warjo.
Aku lantas mengikuti saran pak Warjo tersebut.
Dengan bantuan supir taxi, aku pun
dibantunya kembali masuk ke dalam mobil. aku meminta kepada supir taxi untuk mengantarku menuju rumah sakit
Darul As-Syifa’ yang dekat rumahku. handphoneku
berdering, ku lihat nama itu aba yang tak lain adalah bos di kantorku.
“Kamu berada dimana sekarang mad, katanya kamu habis
jatuh ?,” tanya bosku dengan nada panik.
“Iya ba, ini perjalanan menuju rumah sakit,” jawabku
singkat.
“Di rumah sakit mana ?, nanti aku ke sana,” ucapnya.
“Di rumah sakit dekat rumahku ba, di rumah sakit Darul
As-Syifa’,” jawabku.
“Kita smsan
aja,” ujarnya singkat, yang kemudian mematikan teleponnya.
Akhirnya, menempuh 30 menit sampai juga di rumah
sakit. Dan ternyata bosku dan dua temanku sudah menunggu di depan gerbang rumah
sakit. Dengan sigap Aku membayar dan menambahi ongkos taxi tanpa sepengetahuan bosku. Karena firasatku, ongkos taxi bakal dibayari.
Kemudian aku di gotong oleh aba dan petugas rumah
sakit dengan kereta dorong yang memang sudah dipersiapkan. Lalu aku dibawa menuju
ruang operasi. Sambil memegangi tulang kering, aku meringis kesakitan dan di
bantu oleh dokter profesional, bahkan aku kenal dengan salah satu dokter yang
menanganiku, yang tak lain anak buah bosku.
Ketika aku terbangun selesai dari operasi, di dekatku
sudah ada orang tua serta istriku. Aku kaget saat melihat kaki kiriku sudah di gibs. Dan betapa terharunya mereka saat
menemaniku di rumah sakit. Bukan hanya karena musibah yang menimpaku, melainkan
orang-orang yang menjengukku. Karena tak hanya saudara serta tetanggaku, bahkan
orang-orang yang terpampang di media massa juga ada di ruangan itu.
“Yang jenguk kok istimewa mad ?,” tanya ibuku yang
duduk tepat di samping kepalaku.
“Iya nggak tahu bu,” jawabku serak.
“Kerjaanmu sopir, tapi yang jenguk orang-orang
sibuk,” ujar ibuku dengan raut muka penuh kebingungan.
“Jangan diajak ngomong terlalu banyak Ahmad itu. Dia
kan baru sadar,” ucap ayahku yang berdiri di samping istriku.
Tak lama kemudian, dokter Heri masuk dan menyuntikan
cairan di kantong infuse. Dia juga di
dampingi oleh seorang suster. Mereka saling bercakap-cakap yang sedikit aku
pahami, karena yang dibicirakan mengenenahi kedokteran. Meskipun profesiku
bukanlah dokter, saya juga sering berbincang-bincang mengenahi cara mengobati
orang yang mengalami patah tulang.
“Oh iya bu, gimana kejadiannya pak Ahmad kok bisa
seperti ini ?,” tanya dokter Heri kepada ibuku.
“Saya nggak tahu dok. Tiba-tiba saya dikabari
istrinya Ahmad, kalau sekarang suaminya masuk rumah sakit,” jawab ibuku
spontan.
“Tadi itu ketika saya habis sholat dhuhur ditelepon
oleh teman suamiku, katanya pak Ahmad masuk rumah sakit sini. Kemudian saya
langsung mengabari ibu sama ayah (mertua). Kami pun langsung ke sini untuk
memastikan, soalnya handphonenya juga
nggak aktif,” ujar istriku dengan terbata-bata.
“Hmmm. Pak Ahmad ini rekan kerja saya bu, makanya
saya tahu beliau. Oh iya, jangan terlalu sering diajak bicara dulu pak
Ahmadnya,” ujar dokter sembari meninggalkan ruangan yang diikuti suster
tersebut.
“Iya dok, terima kasih,” jawab ibu dan ayahku
bergantian.
Hari-hari pun terasa begitu lama ketika badanku
terbaring di ruang ini. Meskipun banyak rekan kerja bergantian yang
menjengukku, aku merasa penat berada di sini. Bahkan aku merasa malu ketika
orang-orang tersebut datang menjengukku, karena aku tak mau melibatkan urusanku
dengan keluargaku. Namun, bukan aku yang menceritakan tetapi mereka tahu dengan
sendirinya.
Selang beberapa hari aku diperbolehkan meninggalkan
rumah sakit. Aku merasa senang, karena aku bisa menghirup oksigen tanpa alat
bantu. Istriku meremasi barang-barang yang yang dibawa selama menemaniku berada
di rumah sakit.
Melihat luasnya bumi ini aku merasa bebas, karena
selama di rumah sakit aku melihat kebosanan, bau obat-abatan, dan masih banyak
lain. Mungkin itulah yang menyebabkanku untuk segera keluar dari rumah sakit. Mungkin
orang yang masih berada di rumah sakit berpikiran sama denganku. Namun sejenak
aku berpikir, kalau di luar ternyata lebih sepit dibandingkan ruangan seperti
di rumah sakit itu. Aku akan dihadapkan pada ruangan kecil nan panas yang
diperebutkan oleh orang-orang banyak.*(hnafi)
Saya tertarik dalam artikel Anda pada konsep pembelajaran.
ReplyDeleteSaya juga memiliki artikel yang sama tentang proses pembelajaran yang dapat Anda kunjungi di http://ebook.gunadarma.ac.id/psikologi/140/22%20Quroyzhin_PsikologiKognitif.pdf.html