
“Sabar dulu toh mas ini juga masih disiapkan.”
Itu pasti
suara Susi yang sedang melayani suaminya sang Sudi yang tak berguna, tentu saja
tanpa cinta. Suaranya terdengar dari dalam rumah, lebih tepatnya bangunan yang
tertutup kayu dan kardus-kardus tebal, setidaknya masih di atas tanah.
Tidur malamku berkawan dengan gigitan nyamuk dan suara bising
rengekan anak mereka, aku bergulung di kasurku. Yang ku sebut kasur adalah
tumpukan Koran dan kardus hasil aku menemukannya. Apa yang membuatnya terus
menangis adalah karena dia melihat ibunya menangis. Menangis pedih di dalam rongga dadanya sendiri.
Memejamkan kedua mata dan sesak hingga fajar, sedang yang lain akan tetap larut
di istana mimpi-mimpi mereka yang tak ingin kunjung kembali sekadar untuk
menenangkan bayi mereka.
Aku masih terjaga bahkan mata ini kering dan perih, aku
memikirkan kira-kira apa yang harus aku lakukan untuk pekerjaanku besok karena
pasti melelahkan. Apa aku terlalu lama berkutat pada karir ini sehingga untuk
menyeka keringat saja aku harus menunggu ada kain perca yang terbuang tak
sengaja.
Tetesan air hujan yang hanya sebutir-sebutir itu kini nyaring
sekali masuk ke gendang telingaku. Sampai aku bisa melihatnya mengalir melewati
kerongkonganku yang makin sakit tertahan. Aku tertidur diantara kenyataan yang
tak kunjung hadir rasa manisnya. Aku masih menunggu rasa manis itu hingga kini,
ku tulis besar-besar di otakku bahwa aku tidak akan lari bahkan meskipun badai
kesengsaraan ini terus mengejarku dan meminta pertanggung jawaban atas yang
terjadi. Karena
sejauh apapun itu rasanya tidak akan pernah mampu menggali dan menemukan dimana
hakku berada, ada dimana hal yang disebut hak itu. Aku hampir tak mengenalnya.
“Tidur aja mas besok dipikir lagi hidupnya ini.”
Suara Susi
yang tadinya sesenggukan sekarang sudah bernada halus. Aku hanya memandangnya
dan detik berikutnya Susi hanya tersenyum dan kembali meneruskan aktifitas malamnya.
Mungkin tak hanya aku yang menganggap Susi perempuan ayu yang bodoh, mau maunya dia bersanding dengan Sudi yang tidak
pernah memberikan apa-apa padanya walau sekedar sapaan halus setiap pagi atau
malam. Aku mulai mengerti bagaimana roda kehidupan berputar, sedang yang lain
asik berputar di dalamnya.
Kami ini terlindas roda-roda kehidupan mereka yang berputarnya sungguh diluar
dugaan.
Suara pagi membangunkanku rupanya sang penguasa pagi dan
siang sudah naik ke singgasananya. Sudah menggunakan mahkota teriknya, dan
ditemani rasa gundah dan laraku yang tetap bergelayut mesra di dalam dada. Aku tak merasa beruntung
pagi ini.
“apa kamu tidak bekerja kok bisanya ngebo ini
sudah jam berapa? harusnya kamu bekerja karena kamu laki-laki. Apa kamu gak
sadar kalau kita ini susah bukannya malah bangun mencari uang, kamu malah sibuk
merangkai mimpi yang gak seberapa itu.”
Suara itu
seperti suara perutku yang mulai lapar, lebih tepatnya dia merasa dia bukan
laki-laki atau dia sedang menyamar menjadi seorang ibu-ibu tua tak tahu diri.
Memangnya apa yang sudah dia lakukan. Membeli berapa karung emas hingga
menyebutku seperti itu. Memang kakak tak tahu di untung menghamili anak orang
dan tak bekerja untuknya. Yang setiap pagi istrinya itu bekerja dan malamnya
menangis, sedang anaknya jajanpun tak pernah ia rasakan, hanya menjilati ingus
hijaunya yang tak kunjung surut entah sejak kapan.
“Kalau pulang nanti bawakan makanan.”
Kalimat itu
tak pernah berganti setiap harinya, atau bertambah dua huruf saja menjadi “kalau
pulang nanti ku bawakan makanan” dan itu tak akan pernah terjadi sampai
kapanpun sepertinya.
Aku berangkat menjadi pria karir dan mengenakan pakaian
dinasku yang hanya satu ini. Meski ku lihat tak ada gambaran harapan indah
sejauh aku melihat diriku sendiri. Hanya seperti gumpalan keras menghantam
perutku dan ku rasakan kecewa yang mendalam atas apa yang terjadi padaku setiap
harinya. Ini bukan tentang bagaimana aku kaya dan menikmati kasur atau kursi
empuk yang biasa aku lihat di tempat pembuangan sampah. Tapi ini tentang
bagaimana aku tetap bisa bernapas untuk dapat tetap bekerja menghidupi mereka.
“Maaass Sukiiin, mas tunggu..” Teriakan Situ adik laki-laki ku dan memang
aku tidak punya adik perempuan.
Ini kesekian
kalinya aku bertemu dengannya karena tak setiap hari ia pulang. Ia lebih
memilih kerja dengan tak cepat pulang karena sama halnya denganku yang lelah
mendengar suara jeritan pagi Si Sudi. Lagi-lagi ia lebih banyak bercerita
kebahagiaannya bersama pacarnya, pacar barunya, pacar lamanya. Aku yakin gadis
yang ia sebut-sebut sebagai pacarnya itu pasti juga sama pengamennya dengan
Situ. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum karena apa asiknya berpacaran
seperti itu. Karena bagiku gadis cantikku adalah pekerjaanku, meskipun rambut
panjangnya yang indah kini tak seindah dulu hingga tak memberiku penghidupan
yang layak.
Air hujan yang semalam menetes itu kini menggenang di pingiran jalan berlubang, sama
seperti lubang-lubang sebelumnya di pikiranku yang terisi air kebingungan tanpa
jawaban. Aku masih semangat untuk terus hidup agar tak jadi seperti roti basi,
makanan lembab yang sering ku makan. Bagiku itu makanan yang dimakan
orang-orang kaya di sekitarku,
apa mungkin mereka tak sadar bila aku ikut memakannya walaupun yang sudah
berlabel basi. Lantas darimana kesengsaraan itu dimulai karena bahkan aku memakan
makanan yang sama dengan mereka. Bedanya, mereka mendapatkannya dengan
cara-cara yang basi. Sudah sering dibicarakan sana sini.
“Mas gimana kabarnya, aku sekarang pindah markas mas. Nanti kalau mau
kesana tak kenalin sama Sindi ya. Mas jangan cuman setuju saja sama
pilihanku, lihat dulu gimana bibit, bebet, bobotnya.
Biar aku gak salah pilih mas.”
Aku hampir
pingsan mendengarnya, diantara pekerjaan payahku, keringat yang tak mau
mengalah dan perut lapar yang tak mau mengerti. Diantara debu dan teriknya
matahari siang itu. Situ, adikku satu-satunya berkomentar tentang kualitas
seorang gadis dibawah
umur yang dari kalimatnya itu seakan ia akan menikahinya. Aku sering berpikir
betapa ironis dan payahnya aku ini tapi ada yang lebih mengharukan ternyata.
Dan tidak ada satu kalimat pun yang mampu menandingi kepercayaan dirinya akan
utuhnya suatu kebahagiaan. Memang kubiarkan selama ini, karena dia yang paling tak pernah bisa
merasakan kasih sayang emak. Atau sekadar mencium tangannya, karena emak ku
kuburkan saat ia masih bayi. Tidak seperti ku makamkan karena hanya sedikit yang tidak pura-pura
peduli saat emak tertabrak mobil malam itu. Rasanya seperti itu saat wajah
rentanya benar-benar diam tanpa gurat sedikitpun. Saat tak ada lagi tangan yang
menengadah di tengah malam sambil mulut yang menyebut Asma-Nya dan terselip
nama-nama puteranya disana. Semuanya kini tinggal menjadi ingatan hampa yang
melayang seperti sampah plastik beterbangan di hadapanku. Hanya sandal jepit hijau lusuh yang masih
kusimpan dan kuciumi setiap akan melakukan apapun setiap harinya.
Tak terasa sepertinya Situ masih tetap terus bercerita. Aku
juga, masih tetap berusaha memenuhkan karung yang kubawa sejak dari rumah tadi.
Sudah semakin berat gendongan bahu kananku, sepertinya beberapa lagi dan aku
bisa mendapat upah. Aku melihat ada botol plastik yang tebal dan besar disana.
Agaknya kuambil saja supaya cepat bisa aku pulang.
“Maass Sukiiin Ya Allah mas, toloong.”
Aku
mendengar samar suara adikku.
“Wah dasar pemulung gak ngerti aturan, ini tengah jalan mas.”
Aku juga
mendengar itu, itu sebuah caci maki untukku. Dan suara mobil menderu kencang.
“Ayo diangkat mas, dipinggirkan saja.. kasihan...iyaa...yang bisu itu
kan...miskin pula..”
Viviana Putri
Semester
1
Penulis
adalah Wartawati di
Lembaga Pers Mahasiswa ALAM TARA Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan
Ampel Surabaya
luar biasa
ReplyDelete