
“bapak, ini kopinya,” Suara merdu istriku memecah
desir suara angin yang masih menghibur lelahku, akupun lantas mengajaknya duduk
dan bercengkrama, canda dan gurau pun mulai menghapus lelahku, sore ini begitu
terasa damai dengan guratan siluet senja yang merayap menyapa.
Rumahku yang berada tepat disebuah bukit,
memanglah tempat yang tepat dan penuh kedamaian, bersama suara-suara alam yang
selalu menyapa dan menghibur keluargaku, menjadikan tempat ini seolah surga
bagi keluarga kecilku.
Ditengah kedamaian yang mulai menghapus lelahku,
terdengar teriakan kencang dari dalam rumahku, “kakak,,,!! dibilangin jagan lewat
sini, ini belum kering kakak,” suara putri sulungku mengemah keseluruh ruangan
dirumahku.
“kira-kira itu ada apa istriku,”
“Selly sedang mengepel, mungkin Rio sedang
berulah,”
“baiklah, anggap saja mereka memang inigin
menambah indah rumah ini dengan cara mereka sendiri,”
teriakan-teriakan ini memang sering terjadi dan
selalu mengisi keheningan dirumah ini, Rio anak pertamaku, dia memang selalu
suka membuat adiknya merasa jengkel padanya.
Tak lama kemudian bersama pel dan embernya,
putriku mulai mengepel bagian teras rumah kami, mukanya terlihat sangat
jengkel, bibirnya masih manyun dengan
keringat yang keluar dari dahinya. “Anak ayah kok cemberut,” kataku sambil
tersenyum
“kakak itu yah, masa udah tau aku ngepel malah
jalan-jalan, iya kalo kakinya bersih, kakinya kotor ayah, kan bikin aku ngulang
ngepel lagi,”
“Apakah kamu ikhlas ngepelnya,”
“Ini kan emang uda tugas, jadi ya harus ikhlas
ayah,”
“Kalo kamu ikhlas jagan marah-marah lagi, kalo
kamu marah malah kakak akan lebih sering menganggu kamu,”
“Ah ayah,” katanya mengeluh sambil menuruh pel
yang selesai di pakai di dekat keran di samping rumah, istrikupun langsung
meraihnya dan membantunya untuk mencuci pel tersebut.”Udah semakin sore cepet
sana mandi,” kata istriku
Putriku tidak menjawab dia lantas lansung beranjak
dan berjalan melewati aku, “Selly, anak ayah itu cantik an tidak suka manyun
kayak itu,” kataku sedikit menghiburnya.
Malamnya, keluarga kecilku melakukan hal yang
paling penting dalam keluarga ini, yakni makan malam bersama sambil mempererat
ikatan kekeluargaan antar individu di rumah ini. Seusai makan Riopun meyodorkan
sebuah surat, diatas amplop surat itu kop Sekolah Rio yang ditujukan kepada
orangtua Rio.
“Surat apa ini kak,?”
“Pangilan kesekolah,”
“Memangnya apa yang kamu lakukan,”
“Kakak
berantem sama temennya bapak,” kata Selly yang langsung mendahului jawaban Rio.
“Bukan aku yang mulai,” Rio menyangkal dengan
nadanya yang penuh Emosi.
“Rio jangan emosi, dijawab saja pertanyaan ayah,”
kata istriku yang menenagkan emosi Rio.
“Kemarin aku bercanda sama temenku ayah, dan ada
anak yang tersingung kemudian langsung menghajarku, aku ya langsung mukul dia
balik, masa aku mau diem aja, nanti dikata cupu lagi,”
“Kenapa kamu malu dikatakan cupu,”
“Nanti yang mengatakan cupu bukan hanya dia, tapi
teman-teman yang lain juga,”
“Apa kamu yakin mereka semua akan seperti itu,”
“mungkin,”
Itu masih kemungkinan anakku, harusnya ketika dia
memukul kamu, tanyakan sama dia, kenapa kamu marah, aku tak pernah merasa
mnyinggungmu, kamu cuma terbawa oleh pikiranmu sendiri,”
“bararti kakak juga terbawa sama pikirannya
sendiri ya ayah, sebab kakak melawan karena kakak tidak ingin dianggap cupu,”
kata Selly menambahkan.
"Pikiran memang akan mempengaruhi prilaku
kita, tapi pikiran tetap akan dapat menunjukkan mana yang baik dan mana yang
buruk, asal kita tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan,”
“Berarti aku yang awalnya hanya bercanda,
sebenarnya tidak salah ayah, dan yang salah temenku, kenapa dia harus
terperdaya oleh pikirannya untuk merasa tersinggung, padahal yang aku bicarakan
bukan dia,”
“Tapi kamu tetap juga salah, sebab bercanda yang
keterlaluan seperti itu harusnya tidak dilakukan,” tambah istriku dengan
mengulus kepala Rio
“ya sudah besok ayah akan datang kesekolah, tapi
kamu harus jujur ketika menceritakan apapun yang terjadi, agar kamu bisa
mempertangungjawabkan semuanya,”
“Oke siap ayah,”
Pembicaraan keluargaku tak hanya sampai disitu,
aku memang mengajarkan mereka untuk selalu memahami apa yang sebenarnya harus
dilakukan dalam hidup, mulai dari hal yang paling dasar, aku mencoba menjadikan
karakter mereka menjadi orang yang memiliki tanggung jawab terhadapa semua
sikapnya.
Esok harinya aku bersama Rio menghadiri undangan
dari guru Rio, didalam sudah ada teman Rio yang berkelahi dengannya kemarin,
anak itu da orang tuanya sama-sama memasang wajah yang kesal terhada kami
“Jangan hiraukan emosi mereka, lakukan saja apa yang semalam sudah ayah
katakan,”
Riopun meyapa teman dan gurunya dengan senyum, ia
mup mulai memaparkan apa yang sebenarnya terjadi, temanya mulai tau
kesalahannya, ia pun meminta maaf kepada Rio, dan Rio ia dengan suka rela memaafkan temannya,
kini mereka tak lagi menjadi musuh. *(Islah)
No comments:
Post a comment