![]() |
Dok. Repro |
“Hei dek, sorry telat, lagi baca
buku apa?” suara lelaki yang amat aku hafal di luar kepala membuatku menoleh
sesaat setelah berkutat dengan novel yang aku pinjam dari perpustakaan. “Eh?
Ini kak, daun yang jatuh tak pernah membenci angin, karangannya Tere Liye,”
jawabku yang masih terus melanjutkan membaca. “Serius amat sih bacanya?” sambil
dia meletakkan ranselnya di kursi depanku. “Sebentar, tanggung tinggal dikit
lagi, suruh siapa pake telat segala.” Jawabku sekenanya, novel ini klimaksnya
berada di bagian akhir dan aku hampir saja meneteskan airmata kalau nggak ada
suara kak Dimas yang mengagetkan aku barusan. “Sekarang masih jam 3 tepat, jadi
aku nggak telat, kamu aja yang kerajinan datang duluan. Yaudah aku pesen minum
dulu ya.” Aku tidak menghiraukan dia dan memilih fokus melanjutkan novelku yang
tinggal beberapa halaman lagi. 10 menit kemudian aku selesai menamatkan novel
ini. Pesanan minuman kak Dimas juga sudah dikirim sekitar 3 menit yang lalu.
“Gimana? Udah selesai novelnya?”
Tanya kak Dimas sambil minum Capuccino Frappenya dengan ekspresi sedikit
manyun. “Hihi, udah kak, maaf deh sempet nyuekin kakak tadi.” Jawabku sambil
memasukkan novel ini kedalam tasku. “Kamu ini selalu kok, kalau udah baca novel
yang lain gak bakal dipedulikan.” Lucu sekali kak Dimas ini kalau lagi ngomel.
“Iyaa kak Dimas yang paling baik dan ganteng sendiri, aku tadi kan udah minta
maaf.” Aku berusaha merayu agar kak Dimas tidak mengomel lagi. “Oke, permintaan
maaf diterima” Kemudian kebiasaan itu berlanjut, layaknya air yang selalu
mengalir. Setiap hari Rabu jam 3, selama dua jam aku dan Kak Dimas selalu
bertemu di waktu yang sama, di tempat yang sama, dengan pembahasan obrolan yang
berbeda tentunya.
Dimas
Ardiansyah, seniorku di universitas tempatku menuntut ilmu. Aku tahu dia ketika
masa orientasi mahasiswa, dia adalah ketua panitia kegiatan tersebut. Siapa
yang tidak mengenal dia di fakultasku? Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Fakultas Psikologi di salah satu universitas negeri di kota Surabaya, peraih
gelar siswa terbaik sewaktu lulus SMA dengan danem yang hampir sempurna, ketua
organisasi mahasiswa extra kampus, dan salah satu freelance wartawan majalah di Surabaya.
Sebelumnya
aku tidak pernah mengenal dia, kemudian karena aku mengikuti beberapa
organisasi dan UKM intra kampus akhirnya pada suatu saat aku diberi kesempatan
ngobrol ringan dengan dia. Obrolan pertama adalah ketika sedang ada acara
Seminar Nasional di kampusku dan aku sedang bertugas untuk meliput acara
tersebut. Dia yang menjadi ketua panitianya dan sangat membantu sekali dalam
prosesku membuat berita. Pada saat wawancaraku selesai, dia meminta pin BBMku.
Seminggu setelah acara tersebut semua berjalan biasa saja, meskipun berteman
dengannya di BBM aku tidak pernah mengajaknya ngoborol lewat media tersebut.
Hingga pada saat tengah malam aku sedang chat dengan temanku yang lain aku
tidak sengaja memencet tombol call di kontaknya. Rasanya aku malu sekali dan
langsung mematikannya. Beberapa detik kemudian dia chat Ada apa dek? “Mampus aku! Duh malu-maluin banget!” batinku, langsung
aku jawab “nggak ada apa-apa kak, maaf
tadi kepencet call”
Tidak
lama kemudian dia membalas “Oh iya, aku kirain ada perlu apa.” Fyuuuh lega
sekali hatiku, aku langsung memarahi diriku sendiri “Duh kamu ini ceroboh
banget! Untung aja gak dikira yang aneh-aneh.” Namun kelegaan itu tidak
berlangsung lama, karena dia chat lagi “ciyee,
stalker ya” dan aku benar-benar merutuki kesalahanku malam itu.
“Nggak
kak, tadi nggak sengaja kepencet, beneran deh” balasku sambil menahan rasa
malu, mungkin kalau ada yang melihat kondisiku sekarang akan tertawa, karena
aku sudah guling-guling kesana kemari merutuki kesalahan tadi.
Kemudian
chat tengah malam itu berlanjut
Iya
dek, faham, bercanda doang, santai lah. Kok jam segini belum tidur?
“Hehe, iya kak, lagi
susah tidur”
Lagi
nulis berita?
“Nggak sih, niat
awalnya mau nugas, tapi media social lebih menarik buat dilihat daripada
ngerjain tugas”
Iya
memang, apalagi kalau ada lawan chatnya
“Kalo ngga ada lawan
chatnya namanya stalker kak, wkwk”
Bener
itu, stalker, pengagum rahasia
“wah sepertinya
pengalaman sekali kamu kak hihi”
Baru
ngeh dari chatmu dek, yaudah aku sambungin aja, apalagi biasanya yang hoby
stalker itu yang tidurnya menjelang pagi kayak gini
“tuh kan sampai tau
kalau yang tidur menjelang pagi itu hoby stalker”
Termasuk
kamu juga yang hoby stalker
“Lho aku nggak tau, kan
baru dikasih tau kak Dimas”
Berarti
kamu calon stalker ya
“Nggak mau, jangan
sampai ah”
Iyaa
deh, besok kamu kuliah sampai jam berapa dek?
“Sampai jam 2 kak,
kenapa?”
Ayo
ketemuan yuk, sekalian siapa tau kamu butuh sharing tentang ilmu wartawan bisa
aku kasih tau
“Boleh kak, dimana?”
Di
Cafe Zenith, jam 3 ya
“Okee :)”
Esoknya, aku menepati janji untuk
bertemu kak Dimas di tempat yang kemarin sudah di tentukan. Sore itu aku
ngobrol banyak dengannya, mulai dari tentang jurnalistik, Ormeks, psikologi,
filsafat, dan banyak lainnya. Sungguh obrolan ringan namun aku merasa sangat
bermanfaat.
Dan sepertinya chat dia yang
“Berarti kamu calon stalker ya” menjadi ungkapan yang terwujud. Sejak pertemuan
hari itu, aku benar-benar menjadi stalker akun media sosialnya, tapi aku hanya
membaca, tidak berani mengikuti dia sebagai temannya. Hingga beberapa minggu
lamanya aku tidak pernah bertemunya di kampus, tidak berhubungan lewat bbmkarena
aku pun tahu dia adalah mahasiswa semester akhir yang sudah saatnya
menyelesaikan skripsi. Beberapa minggu itu aku seperti kehilangan kebahagiaan
yang baru saja aku dapatkan sejenak. Aku tidak berani menceritakan kepada
temanku, karena aku takut akan menyebar gosip yang tidak baik dan aku terlalu
malas menanggapi hal-hal tersebut.
Bukannya bermaksud untuk menjadi
wanita yang mudah jatuh cinta, namun aku merasa amat bahagia ketika
diperhatikan dan dihargai oleh orang lain. Karena selama ini aku bukan termasuk
orang yang memiliki kehidupan normal seperti orang-orang lainnya. Orang tuaku
bercerai karena ayah melakukan KDRT didepanku pada saat umurku 10 tahun,
kemudian aku harus menghadapi situasi rumah yang tidak harmonis selama satu
setengah tahun karena ayah dan ibuku perang dingin. Sejujurnya suasana rumah
saat itu benar-benar seperti mimpi buruk, sebisa mungkin aku membantu memperbaiki
hubungan mereka, namun tidak sedikitpun itu berhasil, justru ayah pergi dari
rumah tanpa pamit kepadaku.
Sejak saat itu, aku mulai dikucilkan
teman-temanku, di pandang sebelah mata oleh para tetangga, dipojokkan oleh
situasi bahwa ibuku adalah seorang “janda”, dan merasakan pahitnya kehidupan
karena ayah tidak pernah datang ataupun menghubungiku sedetikpun, aku dipaksa
oleh keadaan untuk bersabar, untuk memasrahkan segala urusan kepada Allah SWT.
Tapi aku tidak apa-apa, memang menyakitkan sekali rasanya, bohong jika aku
tidak pernah mengeluh. Aku pun pernah mencoba untuk menyakiti diriku sendiri
untuk sejenak melupakan tentang keadaan yang sedang aku hadapi, namun bukannya
lupa, aku malah menambah rasa sakit dan menambah dosaku karena telah menyakiti
ciptaan-Nya yang telah diberikan kepadaku dengan sempurna.
Tujuh tahun aku berjuang melawan
segala kesakitan itu sendirian, karena ibuku tidak mau memperdulikan
perasaanku, dan dia malah menyibukkan diri dengan “teman” barunya. Iya teman
barunya, karena setiap kali aku bertanya itu siapa, beliau hanya menjawab “ini
temanku.”
Bertahun-tahun aku mengalami sakit
namun tidak ada yang berdarah dan tidak ada vonis dokter yang mengetahuinya. Karena
terasa amat menyakitkan ketika kamu mempunyai banyak fikiran namun tidak dapat
mengekspresikannya. Ketika kamu ingin berbicara namun tidak ada yang
mendengarkan. Ketika kamu sedang kecewa tetapi tidak tahu apa yang dikecewakan.
Ketika kamu sedang sedih tetapi sudah tidak mampu untuk menangis. Ketika kamu
terjatuh namun tidak ada yang membantu berdiri. Ketika melakukan hal-hal baik
sudah terlalu memuakkan dan pada akhirnya senyuman palsu pun tidak dapat
menyembuhkan suasana hatimu yang terlanjur kacau balau.
Pada akhirnya yang sebenarnya aku
inginkan hanyalah pijakan yang kuat, pegangan yang tangguh dan sandaran yang
kokoh namun di dunia nyata yang ada hanyalah sajadah tempat untuk bersujud.
Selama ini aku hidup dengan kebahagiaan untuk mensyukuri ciptaan-Nya yang Maha
Besar.
Minggu-minggu itu aku kembali
terpuruk, aku hanya bisa memasang senyum palsu untuk sekedar menutupi rasa
galauku. Aku merasa topeng yang
kugunakan amat sempurna karena tidak ada satupun temanku yang menyadari
kesedihanku. Tetapi peribahasa sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh
juga itu berlaku padaku. Aku gagal menyembunyikan rasa rinduku ketika tiba-tiba
kak Dimas muncul lewat didepan kelasku. Aku menitikkan air mata dan ada temanku
yang mengetahuinya. Gagal sudah usahaku untuk menyembunyikan semua perasaan
itu, aku langsung dijadikan bahan candaan hingga terdengar di telinga kak
Dimas.
Malamnya, kak Dimas memulai
percakapan tersebut setelah sekian lama.
Hai dek, lagi sibuk kah?
Hai
kak, nggak kok, ada apa?
Aku tadi denger kamu nangis ya? Kenapa?
Eh iya? Ga
kenapa-kenapa, temen-temen tadi itu iseng hehe
Besok ada waktu? Bisa ketemuan?
Jam berapa?
Jam 3, di Cafe Zenith, aku tunggu ya
Aku tidak membalasnya, hanya aku
baca saja. Biarlah, toh dia pasti tahu kalau aku sudah membacanya.
Pertemuan keesokan harinya sama
seperti saat dulu kita bertemu pada hari dan jam yang sama, hanya saja kali ini
aku merasa sangat bahagia karena bisa melihat dia lagi. Dia tidak menjelaskan
mengapa dia tidak menghubungiku selama beberapa minggu ini dan aku juga tidak
meminta penjelasan. Aku sadar diri aku ini siapa.
Dan pertemuan itu, sampai saat ini
berlanjut. Tidak apa-apa walaupun tanpa mengetahui perasaan apa yang ada di
diriku. Bisa bertemu dengannya setiap minggu aku sudah senang. Dapat melihatnya
dari dekat, memandang ketika dia tersenyum, bertukar fikiran dengan dia,
mengobrol kesana kemari, itu saja sudah cukup. *(Rat/AlamTara)
No comments:
Post a comment