![]() |
Repro Google / Internet |
Araaita.com
- Umat-umat Muslim mulai gembira kepastian ramadhan tiba. Semangat 23 raka’at-ku
telah aku sipakan, jam 6 sore itu mataku mulai terganggu oleh seliweran ibu-ibu
rumah tangga lalu-lalang di jalan kecil. Ya jalan kecil dimana pintu di sampingnya
menembus ruang tamu sebuah keluarga. walau pintu itu Nampak akrab dengan
lintasan para pemikul gerobak jualan. Aku tetap senang berada duduk di pintu
itu, sembari merasakan lalu-lalang angin-angin yang lewat di depanku.
Oh
ya aku ingat aku harus bergegas berjalan 500 Km ke utara dari pintu itu. Ya nampaknya
disana sudah berdiri menghadap kiblat beberapa lansia. Aku lihat mereka lebih
dari gembira berada disana. Sejenak aku berfikir, “bukankah aku harusnya lebih
gembira dari pak tua itu?”, ah.. aku hiraukan saja bisikan di pikiranku itu…
Loh..
loh.. kok jadi begini, aku makin merasa kecewa dengan diriku. Ya tuhan, kenapa
engkau hadapkan pandanganku dengan nenek yang berjalan pelan sembari memegang
sajadah itu?, ah, sudahlah aku harus segera membasuh sebagian tubuhku untuk
shalat.
Namun
anehnya kenapa selama itu nenek itu selalu mengganggu pikiranku, Astaghfirullah,
aku jadi teringat nenekku yang sudah setengah tahun tak aku jumpai. Mataku memaksaku
untuk memercikkan airnya, namun aku berupaya untuk menahannya. Dan tak sia-sia
aku mealakukannya.
Tiba-tiba
aku mendengar imam tarawih membaca untaian do’a - do’a itu. Akupun merenung
sejenak, dalam hatiku bertanya, ya tuhan apakah imam tarawihku mengabaikan
beberapa rakaatmu?, tapi hamba-hambamu namppak tenang ya tuhan. Oh ya aku
sadar, ini memang akhir dari tarawih. bahkan aku merasa tak ingat berapa rakaat
aku abaikan tuhanku dengan mimpi dalam shalat itu.
Sesaat
sebelum berdiri ibadah ganjil aku menoleh ke sampingku, sembari bertanya,
bapak, apakah aku tadi meninggalkan shalatku?, jawabnya, “bukankan kamu tadi Nampak
khusuk nak”. aku tersenyum, iya pak terimakasih. Aku sadar tuhan ragaku mungkin
sedang beribadah kepadamu, tapi tidak dengan hatiku.
Perlahan
aku mulai paham betapa sulitnya mengharmonikan hati, pikiran serta ragaku dalam
tunduk mengabdi padanya. Ya aku mengerti sekarang. Ternyata benar setelahnya ku
lihat para anak-anak kecil nan polosnya sembari mambawa buku berebut kedepan
menghampiri imam. Aku lihatnya bocah-bocah itu walau nampak kelelahan namun
wajahnya penuh gembira. Aku pun tersenyum,
ya tuhan semoga para pendidik mereka engkau limpahkan rahmatmu
kepadanya. Begitu mulia dan agungnya cara ia mendidik. Bahkan aku pun akui,
gurunya juga guruku.
Karena
aku tau bahwa untuk beribadah padamu aku harus menjadi anak kecil terlebih
dahulu, ya seperti mereka yang selalu semangat. Terimakasih tuhan kau telah
ingatkanku pada ibu-ibuku, 10 tahun aku bersama. Dan aku sadar ini adalah
getaran hatinya rindu pada cucunya ini.
Ya
aku akui tuhan seharusnya aku lebih semangat dari lansia-lansia itu. Bahkan tulang-tulang
mudaku Nampak malu pada para renta yang sudah dulu hadir dalam rumahmu. (far/arta)
No comments:
Post a comment