![]() |
doc. Moh/arta |
Kicauan burung dengan suara merdu sambil menari menikmati pagi, seakan sedang bernostalgia untuk menyambut hangatnya sang surya, suaranya menyapa, memberikan semangat tersendiri bagi jiwa-jiwa yang nyaman akan keindahan alam nusantara ini dan segala panorama yang ada, dimana kaki berpijak di bumi dengan segala isinya.
Awal sebelum perkuliahan begitu
jauh aktif, terbesit di pikiranku untuk ikut berorganisasi selain kuliah saja,
tapi saya pun berfikir kalau saya ambil organisasi saya takut mata kuliah saya
terhalang karena masih banyak tugas di
semester 1 dan 2. Nanti aku akan berorganisasi
untuk menjadi satu ruang tersendiri bagiku untuk mengembangkan
ke-intelektualan yang mungkin aku rasakan masih sangat dangkal untuk lebih
diisi dan dikembangkan, dan ternyata yang aku rasakan di dalamnya tidak
hanyalah itu bahkan lebih, karena di situ juga banyak ilmu yang akan aku dapat
di luar bangku kuliah.
Dalam pikirku terselip untuk
mengiyakan bahwa aku harus menggeluti di dunia organisasi, karena mahasiswa
dituntut menjadi agen perubahan atau agen pergerakan. Lalu ku beranikan diri
mendaftarkan diri sebagai kader pergerakan, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia.
Diklat pergerakan aku ikuti.
Tretes menjadi spot pilihan dalam kegiatan pengkaderan tersebut. Kegiatan demi
kegiatan terlaksana dengan baik. Pembaiatan menjadi kegiatan menuju akhir, di
situ aku mulai terdiam, karena suasana dalam kegiatan itu membawa emosional
yang mendalam. Aku mulai bertanya-tanya dalam benak hati ini, masih abu-abu
pikirku untuk mananggapi ketika berbagai argumen yang dilontarkan seorang kader
senior di depan mataku.
Dia tidak seperti kader
pergerakan pada umumnya, matanya melotot tajam ke arah depan, sedikitpun dia
tak pernah melukiskan senyum dalam bibirnya mungkin saja dia telah lupa bagaimana
seharusnya tersenyum. Dia memakai kaos dengan bertuliskan “since 11 April 1970”
terlihat pantas saat dia yang mengenakan kaos hitam itu. Entah apa arti dari 11
April 1970 yang jelas itu bukan hari kelahirannya, lantas jika bukan
kelahirannya lalu kelahiran siapa?.
Lalu kutemukan makna dibalik 11
April 1970 saat dia berbalik membelakangi kami “Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia” dengan disertai lambang di atasnya. Belum sempat aku tanyakan siapa
namanya, dia terlebih dahulu menyentak kami dengan nadanya yang langsung
meninggi.
“Apa yang kalian cari dari diklat
pergerakan? Dan apa tujuan kalian?”
Semua terdiam, kami titipkan bisu
dalam bisu tapi bisu itu langsung tertiup oleh hentakannya yang kedua.
“Ayo, dijawab yang tegas, apakah
kalian siap menjadi agen pergerakan?”
Aku tertunduk, tidak mengerti apa
yang harus aku katakan, lalu dia rajut kata demi kata dengan segala bentuk
pemikirannya yang abstrak (memutar dalam kata yang sama yaitu “siap”) dengan
pembumbuan kata yang sedikit sukar dimengerti, mungkin itu efek dari hentakan dan
muka serius yang dilempar pemateri. Aku yang mendapat giliran lebih awal,
setelah sekian panjang berargumen. Lalu aku berhenti dan mengatakan “mohon
maaf, yang lain dulu kak”. Saat itu ada Afif, Alby, dan Rosyid yang jauh-jauh
ke ranah rantau nan jauh sekedar mendalami arti dan perspektif pergerakan yang
tertuang di kata awal dalam organisasi yang kami geluti.
Alby mencoba meyakinkan pemateri
dengan cara retorikanya yang rapi, mengalirkan kata, menyiram keyakinan
pemateri bahwa dia telah siap seutuhnya untuk menjadi agen gerakan, pemateri
yang merasa gersang keyakinan akan kesanggupan kami pada ahirnya luluh dalam
kata yang Alby tusuk dengan gaya bahasanya yang lembut dan sopan.
“Masih banyak hal yang belum saya
ketahui dari diklat ini, metode-metode pergerakan yang semenjak awal kami
pelajari belum seutuhnya kami pahami, justru itu kami berada disini. Namun jika
pertanyaannya adalah siap atau tidak, maka jawabannya jelas siap kak,” tegas Alby.
“Oke, selanjutnya,” ungkap senior
berkaos hitam.
Hampir semuanya menjawab jawaban
yang sama seperti Alby, tapi melalui retorika dan bahasa yang berbeda.
“Buktikanlah, jika kalian adalah
agen pergerakan,” pungkas Doyok, panggilan senior berkaos hitam tersebut.
Argumen tersebut menjadi penutup
kegiatan pembaiatan. Setelah selesai mengikuti berbagai kegiatan, kami sebagai
mahasiswa sekaligus kader pergerakan dituntut untuk mengimplementasikan ilmu-ilmu yang dapat di
diklat pergerakan. Mulai dari memahami beberapa teori logika, filsafat, hingga
mengawal rakyat. Sebagai penyambung lidah rakyat, di situlah kader pergerakan
bergerak. Mengantarkan aspirasi rakyat kepada birokrat.
Oleh: Moh. Muchlisin
*Penulis adalah mahasiswa
Komunikasi dan Penyiaran Islam Semester III
UIN Sunan Ampel Surabaya
UIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a comment