![]() |
doc. Repro Internet |
"Nak, sudah
makan?" tanyanya di ujung telepon. Suara pria yang mengkhawatirkanku
karena tahu betul kebiasaanku yang sering telat makan. Dia adalah ayahku. Ayah
menghabiskan hidupnya 20 persen untuk keluarga, 35 persen untuk rakyat dan 45
persen untuk negara. Mungkin memang sudah tugas Ayah sebagai abdi negara yang
harus memprioritaskan hidupnya untuk negara. Bahkan saat ibuku mengandungku dan
tinggal menghitung beberapa bulan lagi menuju proses lahiran, beliau harus
berangkat ke Jakarta. Ikut berperan penting dalam peristiwa krisis moneter di
tahun 1998. Memblokir jalan di barisan terdepan mengamankan gedung MPR/DPR yang
dikepung ribuan mahasiswa demi aksi penurunan jabatan Presiden Soeharto kala
itu.
Saat-saat yang paling ku benci adalah ketika beliau harus
ditugaskan ke luar pulau selama berbulan-bulan. Selama itu ibuku dan
saudara-saudaraku setia menemaninya mulai dari mengisi peralatan-peralatan di
ransel hingga hari dimana Ayah siap berangkat lengkap dengan pakaian doreng yang
melekat di tubuhnya. "Ayah pergi dulu ya, Nak. Kamu jangan nakal,"
Itu pesan Ayah yang selalu aku ingat setiap beliau berangkat tugas. Selepas itu
aku bergiliran mencium tangannya dengan kedua saudaraku. "Tuhan, jaga
Ayahku nanti disana," batinku menggeliat tepat setelah mendengar pesannya itu.
Sekarang Ayah ditempatkan jauh dari hiruk pikuk ibu kota.
Beliau ditempatkan di sebuah pulau terpencil tepatnya perbatasan antara
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Perjalanan harus ditempuh dengan perahu
kecil selama 4 jam, melewati rawa-rawa yang dikelilingi si reptil buas alias
buaya. Kira-kira dua minggu dalam sebulan barulah Ayah bisa pulang ke rumah.
Namun, karena kerja kerasnya Ayah mendapatkan gaji lebih. Entah aku harus
bersyukur atau mengeluh. Kadang karena jarangnya ketiadaan ayahku di rumah
membuat kedua orang tuaku mengalami cekcok hebat selepas ayah bertugas.
"Ini salah kamu, kamu nggak bisa didik anak dengan baik," ujar ayah
dengan nada tinggi. "Kenapa aku? Kamu yang salah. Kamu jarang di rumah nggak
tahu apa-apa," kata ibu berusaha membela dirinya. Hatiku hanya bisa
membatin ketika mereka sedang adu mulut di depan anak-anaknya. "Bukan, ini
bukan salah kalian. Ayah itu abdi negara dan jarang pulang. Ibu nggak bisa
besarin anak-anaknya sendiri tanpa sosok ayah," Begitu kira-kira batinku
menggerutu.
"Udah yah, " jawabku dengan
semangat, padahal seharian ini perutku belum terisi apapun. Aku berusaha
membuatnya tak khawatir.
"Kata ibu, kamu mau liburan
ke Bandung nanti?"
"Iya, boleh kan?"
tanyaku meminta ijin Ayah.
"Pulang
aja lah. Liburanmu lama kan? Ntar, Ayah belikan tiket pesawatmu,"
kata Ayah merayuku di ujung telepon pagi ini.
Ayah terus mendesakku untuk pulang
ke rumah liburan semester nanti. Entah karena alasan apa. Tiga bulan yang lalu
aku dan Ayah bertatap muka. Saat itu, Ayah hendak berangkat ke pulau terpencil
dimana ia bertugas. Tapi, Ayah masih sempat mengantarkanku ke bandara bersama
Ibu dan adik laki-lakiku. Waktuku memang sangat terbatas untuk bertemu
dengannya. Ditambah lagi aku kini sedang menuntut ilmu di tanah rantau,
tepatnya di Pulau Jawa.
Ayah seringkali membangunkan ku lewat telepon di pagi hari.
Tak banyak yang ia bicarakan. Hanya perhatian-perhatian kecil berdurasi kurang
dari lima menit. Pertanyaan-pertanyaan yang aku hafal betul diluar kepala.
'Nak, sehat? Nak, udah makan? Nak, uangnya udah habis?'
Mungkin ayahku bukan sosok ayah yang romantis seperti ayah
kebanyakan anak di luar sana. Tapi aku tahu lewat perhatian yang ia berikan
itulah sikap romantis tersendiri bagiku. Ia selalu bisa meluangkan waktunya
untuk meneleponku. Dengan membiarkanku mendengarkan suaranya jika Ayah
baik-baik saja, aku sudah sangat bersyukur.
Menjadi anak seorang abdi negara merupakan hal yang
membuatku bangga. Terlebih sosok Ayah yang harus siap siaga menempatkan
posisinya dimanapun. Ketika ia bertugas, Ayah menjadi seorang tentara yang
profesional. Tapi, ketika beliau di rumah, ia menjalani hidup sebagai Ayah tiga
orang anak.
Oleh : Anastasia Pricilia Juliet Anaway
*Penulis adalah MahasiswaSemester III Ilmu Komunikasi
UIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a comment