doc. Repro Internet
Tidak
terasa waktu berlalu sangat cepat, dan seakan akan bisa dibuktikan, waktu kalau
dijual, akan lebih mahal daripada sepeda motor sport yang di idam idamkan anak muda zaman Now. Sabtu, hari
dimana aku mendapatkan perintah yang ke 5 kalinya dari Dantok -bos geng
sekolahku yang terkenal berperawakan bongsor dan berotot serta mantan murid
perguruan silat ternama yang memiliki ilmu kanuragan sakti mandraguna- untuk
merapatkan barisan, tawuran lagi, iya tawuran yang ke 5, namun ini dengan mahasiswa
kampus A di kebumen, Jawa Tengah, sebelumnya dengan anak SMK sederajat.
Tepatnya,
gang kecil sebelah utara sekolahku, Dantok mengadakan rapat besar dengan
puluhan temannya penuh dendam, karena barusan saja partnernya dihajar habis
oleh anak kuliahan itu, membahas strategi dan senjata apa saja yang akan
dibutuhkan, bahkan jika ada jimat, maka akan sangat perlu untuk menghajar habis
anak kuliahan itu.
Merasa
begitu semangat menjalani waktu yang telah kubeli dengan sangat mahal ini, tanpa
disadari apa yang kulakukan semua ini, kuanggap baik bagi kehidupanku, namun
tentunya itu salah besar, setelah kami -Dantok dan tujuh temanku begitu juga
aku beserta belasan mahasiswa- digiring oleh beberapa Polisi dan TNI ke tengah
tengah lokasi lapangan Polsek Kebumen terdekat, kami semua jongkok dan
telanjang dada dihadapan para bapak bapak Polisi dan TNI yang membawa senjata
api itu, tak hanya teriakan bapak bapak Polisi dan TNI itu yang menyoroti kami,
panas matahari pun ikut menyoroti kami sehingga membuat kami sangat kegerahan,
geram sekaligus ketakutan.
“Suf,
gimana ini? Aku takut bapakku marah besar nanti,” salah satu temanku berbisik
pelan ke telingaku sembari ketakutan melihat senjata api yang dibawa oleh
aparat itu.
“Bodoh, itu
salah kamu, udah tau resiko kayak gini, kamu ikutan,” bisikku agak keras.
Setelah mendengar
pembicaraan ku dengan temanku itu yang mencurigakan, aku pun ditarik keras oleh
salah satu bapak TNI, badanku yang kurus tak sebanding dengan bapak TNI yang
memiliki badan tinggi dan kekar itu, takut menggerayai tubuh, “mau diapakan aku
ini,” jerit dalam hati
“Saya
ulangi lagi, siapa yang berkuasa disini? Siapa yang menjadi bos kalian?” teriak
bapak TNI itu yang memegangi aku dengan beberapa pangkat di bajunya itu, aku
pikir dia komandan disini.
“Kalau
tidak ada yang mengaku, akan kami masukan kalian semua ke penjara,” teriaknya
sekali lagi.
Setelah
setengah jam berlalu, mengintogerasi kami secara massal, bapak bapak Polisi dan
TNI dengan kaget mendengar Dantok mengatakan. “Saya pak, saya bos mereka, saya
bos anak SMK ini pak,” tegasnya dengan nada sedikit ketakutan.
Akhirnya
Dantok menyelamatkan kami semua, namun aku tak tau apa yang akan dilakukan aparat
itu kepada Dantok, aku cuek saja, itu keberanian yang membawa kebaikan namun
tidak untuknya, aku pikir itu takdirnya, setelah semua selesai, kami
dikembalikan kepada orang tua kami, tentunya dengan predikat di SKCK kenakalan
remaja.
Aku sangat
menyesal atas kelakuan yang liar itu, dengan remehnya masa mudaku kugunakan dengan
aktifitas yang tidak bermanfaat, aku menjerit dalam hati, setelah semua teman
temanku yang baik baik saja, dengan bangganya mereka lulus dan kuliah di kampus
favorit mereka masing – masing.
Aku yang
sudah terlanjur masuk ke perangkap setan ini, menangis tersendu sendu di
hamparan sajadah shalat fardlu isya’ kala itu, berharap ada keajaiban yang bisa
mengubah ini semua menjadi baik baik saja. Aku bisa kuliah di kampus favorit
dan bertemu dengan teman teman yang baik baik pula, serta membanggakan orang
tua dan keluarga kelak dengan prestasi yang kubuat sendiri.
***
Aku
berkomitmen bekerja selama setahun, mengumpulkan uang, sedikit demi sedikit
untuk berhijrah dari Kebumen ke kota pahlawan yakni Surabaya, adapun faktor aku
kuliah di Surabaya, karena aku percaya kota pahlawan itu akan menciptakan
pahlawan pahlawan baru, minimal pahlawan bagi diri sendiri dan keluarga baru
masyarakat, disisi lain juga ada saudara kaya yang tinggal di Surabaya saat
itu.
Berharap
terus dalam hamparan sajadah di setiap waktu shalatku, agar aku selalu berada
dalam jalan yang lurus secara istiqamah, aamiin. Tak terasa waktu menunjukkan
eksistensinya, sangat cepat sekali berlalu, bulan depan sudah membuka
pendaftaran mahasiswa baru di Surabaya.
“Suf, Sufi,
mau ngapain kamu daftar kuliah?” tanya penasaran kepadaku, rusti, partner
kerjaku -di lembaga amil zakat Kebumen- selama ini yang cukup dekat denganku,
apapun aku jalani bersama dengannya, namun aku heran dengan dia, sering aku
diajak kajian islami bersamanya, juga kebanyakan malah aku dinasehati mengenai
kehidupan, hijabnya yang begitu menutup aurat tanpa memperlihatkan liukan
tubuhnya, namun ia sering berkumpul, bersentuhan, bahkan berdekatan seperti
orang pacaran zaman Now.
Apa ini
yang dimaksud sindrom atau virus “kids
zaman now” yang menjakiti masyarakat dengan budaya barunya itu, sudah jelas
jelas rasionalitasnya, syariat agamanya, masih saja tetap melanggar dan itu
disadari olehnya, “Sekali-kali kan nggak apa-apa,” alasannya. Sekali kamu masuk
ke jurang setan, maka akan susah dibawa atau dinasehati yang baik baik
nantinya.
***
Hari senin,
aku ketik memasukkan profile ku kedalam website penerimaan mahasiswa baru di
salah satu perguruan tinggi islam di Surabaya, tak terasa waktu begitu cepat
lagi, akhirnya doaku diterima oleh Allah SWT. Aku diterima di salah satu
perguruan tinggi islam di Surabaya dengan jurusan islami pula. “Alhamdulillah,”
ucap syukur ku kepada takdirnya.
Masa Orientasi
Mahasiswa kujalani dengan baik, hingga awal perkuliahan ku jalani dengan baik
pula, semester 1, semester 2, semester 3, semester 4, begitu sampai di semester
5, aku mulai merasakan ada yang beda dalam doaku sebelum menjadi mahasiswa
dulu, aku berdoa agar bersama sama kumpul dengan golongan orang orang yang baik,
namun apa, sama saja kulihat disini, budaya mahasiswa disini, pola hidup mereka
sudah liar seperti aku dulu, menganggap semua yang dilakukan adalah baik
baginya, namun aku tidak melihatnya.
Seperti
mahasiswa yang berbondong – bondong menuju ke warkop -warung kopi- untuk ngopi dan
ngerokok, berdalih menghilangkan kepenatan selama perkuliahan, iya wajar itu,
namun yang tidak wajar adalah ketika ada yang dari siang ke sore, bahkan malam
ke shubuh, dia dengan santainya duduk tanpa ada kewajiban yang harus
dijalaninya terlebih dahulu, yakni shalat 5 waktu yang telah mereka lupakan.
Ketika
shubuh menggemakan adzannya, telinga mereka seakan akan tersumbat dan memilih
rayuan setan untuk tidur lagi, dengan asyiknya mereka bangun siang, dan seakan
akan tidak terjadi apa apa dalam dirinya, padahal sesuatu yang lebih penting
dan menjadi kewajiban nya nomer satu dia tinggalkan begitu saja tanpa ada
penyesalan.
Inikah yang
disebut mahasiswa, apalagi mahasiswa yang notabene kuliah di kampus islami,
bertambahnya mengenai keilmuan agamanya, iya memang, namun apa juga bertambah
dengan imannya? tentu ini menjadi evaluasi bagi aku pribadi, dulu aku bertaubat
setelah tertangkap oleh aparat, apakah mahasiswa ini butuh musibah atau masalah
atau ujian besar terlebih dahulu untuk berhijrah? Atau tunggu ditangkap aparat
dulu baru berhijrah?
***
Ada
kerusuhan, demo atau aksi mahasiswa di depan gedung DPRD Jatim, berujung
bentrok antara puluhan mahasiswa dengan kepolisian, selang beberapa jam, ada
yang menakjubkan di tengah tengah kerumunan polisi itu, ada seorang polisi
dengan beraninya tanpa senjata sedikitpun hanya dilengkapi dengan tameng maju
menghadapi para perusuh itu, sungguh berani.
Eits, aku
merasa ada yang mengganggu pikiran ku kala itu, ya, aku ingat betul postur
tubuhnya dan kesaktian gerak silatnya melawan mahasiswa disitu, setelah pria
berani itu membuka sebagian helm nya, aku ingat betul, pria itu adalah Dantok,
yang sekarang menjadi garda terdepan kepolisian untuk mengatasi kerusuhan serta
menjadi Bintal -bimbingan mental- di kepolisian bahkan di kalangan TNI juga.
Sehingga
pada akhirnya, saya berkesimpulan, suatu insan yakni manusia pada umumnya harus
diberi peringatan terlebih dahulu, baru mau berhijrah seperti aku dan Dantok
itu.
“Suf, hey,
apa kabar kamu? Kok bisa di Surabaya?,” tanya Dantok kepadaku setelah kerusuhan
mereda, aku berpakaian seperti anggota pers mahasiswa sambil membawa kamera
DSLR milikku yang sedang meliput kerusuhan itu.
“Alhamdulillah
sangat baik Tok, aku kuliah disini,” jawabku dengan nada terhormat, aku bangga
dengannya, Dantok yang dulu mantan preman sekolah dan juga yang menyelamatkanku
dan telah aku acuhkan kala itu, sekarang telah berubah total.
Oleh: Bimbi Naufal
*Penulis adalah Mahasiswi Semester III Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a comment