Aku berdiri seorang diri di tanah lapang yang luas
nan sepi. Hanya mengenakan kaos putih tanpa alas kaki. Tiba-tiba ku dengar suara
bom dan granat dari jarak sekitar satu kilometer. Banyak orang berhamburan melarikan
diri bak dikejar setan. Aku hanya terpaku pada satu posisi. Bingung terhadap apa
yang terjadi. Aku pun ikut sibuk menyelamatkan diri ke sebuah gedung tinggi
berbahan kaca. Gedung ini terlihat seperti sebuah perkantoran. Suasananya sepi dan berantakan. Kertas-kertas
berhamburan. Sebagian kaca gedung pecah. Kursi dan meja tak tertata rapi
sebagaimana mestinya. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah kalender yang
tergantung di dinding gedung ini.Kalender menunjukkan bahwa hari ini tanggal 31
Juli2050. Bagaimana bisa? Mengapa waktu bergulir sangat
cepat sekali?
Aku berjalan menelusuri lorong-lorong gedung ini mencoba
lupakan jika sekarang aku berada di tahun 2050. Aku mendengar percakapan dua
orang pria dari balik pintu.Perlahan aku mendekati sumber suara itu. Dugaanku
benar. Ada dua orang pria di ruangan itu. Seorang pria mengenakan setelan jas rapi.
Seorang pria yang lain mengenakan seragam dinas rapi berwarna coklat tua dengan
badan gagah perkasa.
‘’Kamu urus semuanya,” ujar pria dengan setelan jas
tersebut seraya melemparkan amplop coklat tebal di atas meja di hadapannya. Aku
yakin isinya adalah uang puluhan, ratusan bahkan milyaran juta. Tak sengaja aku
melihat papan jabatan di atas meja pria berjas rapi tersebut. Seorang pejabat negara
rupanya.
“Siap,” ujar pria berseragam dinas itu dengan singkat. Kemudian aku berlari ketika mengetahui pria berseragam
dinas coklat akan menuju pintu keluar, tempatku bersembunyi saat ini. Aku melanjutkan perjalananku ke sebuah lift
yang berada di pojok ruangan lantai dasar. Lantai 20, lantai teratas menjadi tujuanku.
Lantai tertinggi yang pernah aku jajaki selama hidupku. Lift ini benar-benar kosong. 5 menit kemudian pintu lift
terbuka. View langsung mengarah ke langit biru. Rasanya seperti aku berada di Dubai, salah satu negeri yang
memiliki gedung-gedung pencakar langit seperti ini. “Kemana semua orang-orang ini? Setahuku ini masih jam kerja,” batinku menggerutu.
Aku melihat ke arah bawah gedung. Sungguh mengejutkan. Jalanan sekitar gedung bak lautan
mayat. Sebagian meninggal terbujur kaku. Sebagian sekarat bersimbah darah. Beberapa
orang berseragam putih-putih bergotong royong mengeluarkan tandu dari dalam ambulance.
Terlihat juga beberapa pria berseragam dinas hijau rapi ikut membantu menangani
korban-korban di jalanan tersebut. “Apa ini hari Kiamat? Tapi, mengapa tidak ada
sosok besar yang keningnya bertuliskan kafir itu?” batinku makin penasaran. Lamunanku
pecah ketika mendengar suara orang menangis histeris. Suara itu bersumber dari atap
gedung. Aku menghampiri sumber suara itu. Banyak orang berpakaian rapi dan mewah
disini. Ada yang menangis, ketakutan hingga menjerit kesakitan.
“Anak saya, Pak. Anak saya. Dia masih kecil,” teriak seorang
ibu kepada pria yang sudah tak asing lagi di mataku. Pria yang berada di ruangan
dengan pria berjas rapi di lantai dasar beberapa menit yang lalu.
“Anak saya juga, Pak. Apa salah kami? Kenapa anak kami dijadikan tawanan? Padahal suami kami seorang abdi negara yang melindungi negara ini,”ujar ibu yang lainseraya menangis tersedu-sedu.
“Iya bu, sabar. Kita akan proses secepatnya,” ujar pria itu.
Tiba-tiba suara senjata terdengar. Suara tank-tank turut menghiasi gaduhnya suasana
kota ini. Begitu juga dengan suara bom. Aku menutup telinga dan berusaha mencari
tempat persembunyian.
“Adik siapa? Kenapa bisa ada di gedung ini? Ini gedung
khusus untuk orang-orang kaya,” tanya wanita di sebelahku.
“Rasis,” batinku. Aku terdiam.
“Dik,” ujar wanita berumur sekitar 25 tahun itu yang berusaha membuyarkan lamunanku.
“Saya bingung, Mbak. Sayatiba-tiba ada disini. Apa boleh saya bertanya?”
Dia mengangguk. “Siapa pria berseragam coklat muda itu? Lalu, kenapa ibu-ibu itu menangis dan memohon ke pria tersebut?”
“Dia adalah oknum dan ibu-ibu tadi adalah istri abdi negara. Anak-anak mereka dijadikan tawanan dan diserahkan
untuk orang-orang berduit seperti pejabat negara. Negara kita tidak bisa memenuhi
kerja sama yang telah lama ditandatangani dengan negara tetangga. Mereka meminta
anak-anak gadis para abdi negara di seluruh Indonesia dijadikan budak nafsu mereka.”
“Mbak, kok
tahu banyak?”
“Saya sudah lama bekerja disini. Jujur saya muak kerja
disini, tapi saya tulang punggung keluarga.”
Beberapa menit kemudian, suara helikopter terdengar
mendekati area atap gedung. Itu bala bantuan. Segera kami menghampiri helikopter
tersebut. Kami mengantri dengan sabar untuk menaiki helikopter itu dengan
sebuah tali. Di tengah perjalanan, aku hanya berpikir dan
berpikir. Ada apa dengan Indonesia saat ini. Hukum sangat lemah, uang di atas segala-galanya hingga orang kalangan bawah benar-benar tertindas.
Helikopter yang kami tumpangi mendarat di sebuah lapangan besar. Beberapa pesawat tempur negara Indonesia saling menyerang dengan pesawat tempur
negara tetangga. Lengkap dengan pasukan bersenjata lainnya. Aku terkejut dan melarikan
diri. Aku seperti menjadi seorang aktor dalam sebuah film dokumenter yang tak
kalah dengan perang dunia II. “Awas dibelakangmu,” teriak salah seorang pria mengingatkanku.
Tok, tok, tok.Suara pintu membuatku terbangun.“Kok
tidur? Lima menit yang lalu kamu bilang mau ngerjain tugas Hukum Politik. Sudah
selesai?” tanya Mama.
“Lima menit yang lalu, Ma?Sekarang jam berapa?”
“Iya, lima menit. Jam 20.55 WIB. Ketiduran, sih. Udah lanjutin tugasnya,”
perintah Mama kepadaku.
Aku tersadar semua itu hanyalah mimpi.Sebuah gambaran kondisi Indonesia ditahun 2050 sampai tahun 2055 yang ternyata adalah durasi aku tertidur malam ini.
Oleh: Anastasia Pricilia Juliet Anaway
*Penulis adalah Mahasiswa Semester III Ilmu Komunikasi
UIN Sunan Ampel Surabaya dan wartawan araaita.com
No comments:
Post a comment