![]() |
doc. Istimewa |
Araaita.com - Chandra
Kirana, pria kelahiran 20 Oktober 1992 tersebut harus merasakan kerasnya
kehidupan saat ia menempuh pendidikan strata S1 nya di Universitas Brawijaya
(Unibraw) Malang.
Chandra bercerita, bahwa
pada tahun 2010 silam ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan jenjang S1
nya di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) jurusan Teknik Sipil.
Namun karena ada saran
dari keluarganya, ia akhirnya juga mendaftar melalui jalur SNMPTN di
Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang jurusan Ilmu Pemerintahan. Hingga
akhirnya ia diterima dikedua kampus ternama di malang tersebut.
“Karena berasal dari IPS,
dan takut ambil resiko gak bisa mngikuti pelajaran berbasis
IPA, maka mengambil yang di UB,” ujarnya.
Keputusannya memutuskan
kuliah di Unibraw tak sia-sia, walau saat itu ia harus membayar uang gedung
sebesar Rp 6.000.000, namun ia cukup bersukur lantaran Sumbangan Pembinaan
Pendidikan (SPP) hanya dikenai Rp 100.000.
“Karena Ibu dan ayah saya
tidak bekerja, sementara kakak dua orang saja yang PNS golongan bawah,”
ungkapnya.
Namun malang menimpa
Chandra, pada tahun 2012 saat ia menginjak semester tiga ia harus merasakan
tulang bahunya patah setelah ia mengalami kecelakaan. Kejadian itu membuatnya
harus meninggalkan kuliah dan beberapa ujian saat itu.
“Akhirnya semester saya
telat, dan harus mengulang banyak mata kuliah,” katanya.
Cobaan demi cobaan terus
menimpa Chandra, pada tahun 2014 lalu, ia berhasil menyelesaikan sidang
proposal penelitiannya. Namun penelitian yang ia lakukan di kampung halamannya
di Jl. Semangka, gang Tenguyun, Kab. Bulungan Kalimantan Utara tersebut, harus
terkendala, lantaran ia tak punya cukup biaya untuk melanjutkan penelitiannya
tersebut.
“Penelitian saya di
kampung halaman, ya itu Kalimantan Utara. Sementara saya kuliah di Malang
lumayan butuh biaya buat pulang dan kembali,” keluhnya.
Namun begitu, ia harus
kembali merasakan pahitnya pendidikan, dimana ia harus mengganti teori yang
digunakan lantaran salah satu dosen yang tidak hadir saat ujian proposal
penelitiannya tersebut menolak teori yang digunakan Chandra.
“Nah otomatis saya harus
turun lapangan lagi ketika ganti teori, karena saat penelitian panduan saya
adalah teori,” ucapnya.
Bersamaan dengan itu,
ibunya di kampung halamannya sedang mengalami sakit Diabetes, dan saat itu
saudara-saudaranya mulai mewanti-wanti Chandra agar menghemat pengeluarannya.
“Jadi saya nggak berani
minta untuk penelitian ulang skripsi saya,” ungkap Chandra
Ditengah kesulitan ekonomi
keluarganya, membuat Chandra harus memutar otak untuk mengatasi masalahnya
tersebut. Hingga akhirnya ia bersama dengan beberapa temannya membuka Cafe dengan
modal dari hasil tabungannya.
“Dan Cafe itu
pun gagal karena ada salah satu partner yang melanggar kesepakatan,” katanya
Tak berhenti disitu,
Chandra harus memutar otak kembali agar bisa melanjutkan penelitiannya
tersebut. Namun masih sama, Chandra tak dapat menemukan solusi terkait hal itu,
hingga satu-satunya cara adalah dengan melakukan konsultasi terhadap sekretaris
jurusannya.
Setelah melakukan
konsultasi kepada sakretaris jurusannya, akhirnya Chandra menemukan solusi,
yaitu dengan mengganti dosen pembimbingnya, agar teori dan judulnya masih sama
dengan yang dulu.
“Dan buat ganti dosen
harus nunggu satu semester, dan saat ploting dapat dosen pembimbing yang sama
sehingga masalahnya pun sama,” ungkapnya.
Kejadian tersebut harus
dijalani dengan menunggu hingga satu semester lagi untuk yang kedua kalinya,
agar dapat mengganti dosen pembimbing. Hingga akhirnya pada 2015 ia mendapat
dosen pembimbing yang berbeda.
“Disitu baru mulai bisa
nulis skripsi dengan data-data yang telah ada sebelumnya tanpa penelitian
ulang,” cetusnya.
Namun malang, Chandra
harus menerima kenyataan, saat ia diberi kabar saudaranya bahwa ibundanya telah
meninggal dunia. Hingga akhirnya saudaranya membiayainya untuk dapat pulang ke
kampung halaman.
Setelah masalah itu
selesai, anak terakhir dari tujuh bersaudara tersebut dapat kembali melanjutkan
penelitian skripsinya, namun lagi-lagi Chandra harus merasakan kerasnya hidup
lantaran saudara-saudaranya berhenti membiayai kuliah dan biaya hidupnya di
Malang.
“Sehingga kebingungan mau
bayar kos dari mana, buat makan dari mana, biaya skripsi dari mana, akhirnya
kembali kerja sehingga tertundalah skripsi selama satu tahun,” tuturnya
Beruntung, ibu kosnya
memberi keringanan pada Chandra untuk membayar kosnya setelah ia mendapat
sebuah pekerjaan. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai anak oleh pemilik kos.
“Akhirnya saya lanjut lagi
skripsi pada 2016 agustus, butuh delapan bulan buat meyelesaikan skripsi,
soalnya harus kerja sambilan buat biaya makan di Malang karena gak ada biaya,”
ungkap pria berkacamata itu.
Lagi-lagi Chandra harus
menerima kenyataan, lantaran ayahnya meninggal dunia, dan malang, Chandra tak
dapat pulang ke kampung halamannya lantaran tak punya biaya, untuk meminta
biaya pada saudaranya ia merasa tidak enak dan khawatir akan merepotkan
saudaranya.
“Sehingga harus baca yasin
saja sendiri di kosan sambil minta maaf sama ayah gak bisa cium kaki
jenazahnya,” ujarnya
Hingga akhirnya Chandra
dapat menyelesaikan skripsinya tersebut pada tahun 2017 dan siap untuk diujikan
sambil lalu menyelesaikan administrasinya. Namun begitu, saat hendak melakukan
ujian, ia diharuskan membayar uang sebesar 400.000 rupiah, dan lagi-lagi ia
harus menunda sidang skripsinya sembari mencari pijaman uang untuk biaya
tersebut.
“Dan alhamdulilah banyak
yang mau meminjamkan. Sampai akhirnya juni 2017 saya ujian,” ungkapnya.
Masalah tidak berhenti
disitu, walau ia berhasil lulus dengan revisi, namun ia harus menyertakan surat
pengantar instansi tempat penelitiannya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar
melakukan penelitian.
“Sehingga harus menuggu
lama buat dapat surat pengantar tersebut, karena penelitian ini sudah lama
sekali sehingga instansi harus menyesuaikan tanggal dan kop surat,” katanya.
Tak hanya itu, untuk cetak
hasil skripsinya ia harus meminjam uang pada teman-temannya, bahkan saat hendak
wisudapun lagi-lagi ia kesulitan untuk membiayainya.
“Alhamdulillah Allah masih
sayang dan terus mengalirkan rizkinya walaupun saya sering membangkang dalam
ibadah kepada Allah, sampai akhirnya daftar wisuda dan muncul tanggal wisuda 11
November 2017 kemarin,” ungkapnya.
Wisuda yang seharusnya
menjadi momen yang membahagiakan bagi kalangan mahasiswa tersebut, tidak
dirasakan Chandra, lantaran saudaranya-saudaranya tak dapat hadir di momen
wisudanya, sedang kedua orang tuanya telah tiada.
“Sehingga harus
sahabat yang sudah seperti keluarga sendiri yang rela meluangkan waktu untuk
mendampingi menjadi wali,” pungkas Chandra. (Faris)
Inspiratif banget 🙏👍
ReplyDeleteTerimakasih telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat bagi masyarakat.
ReplyDelete