doc. Repro Internet
Berdasarkan UU 2 tahun 1989, pasal 16 ayat 1 yang berbunyi bahwa Perguruan Tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota Masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Begitulah bunyi landasan hukum kewajiban Perguruan Tinggi untuk mencerdaskan putra-putra bangsanya.
Selain kegiatan belajar mengajar
di dalam kelas, Perguruan Tinggi juga memberikan fasilitas berupa Organisasi
Mahasiswa sebagai wadah bagi Mahasiswa untuk mengembangkan keilmuannya. Sebagaimana organisasi pada umumnya, yang tak lekang oleh
kegiatan diskusi, rapat, atau latihan-latihan khusus. Di UINSA Surabaya
kegiatan tersebut dilakukan setelah
kegiatan perkuliahan berakhir, yakni pada sore hari hingga malam hari. Seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) PSHT, Paduan Suara, dan Teater yang selalu
melakukan kegiatan latihannya di malam
hari. Begitu pula dengan Organisasi Kemahasiswaan lainnya yang juga melakukan
aktivitasnya di sore dan malam hari, seperti kajian keilmuan, rapat bidang, dan
lain sebagainya.
Namun waktu kegiatan Organisasi yang hanya bisa dilakukan pada sore dan malam hari itu tidak serta
merta dibebaskan begitu saja oleh kampus. Baru-baru ini telah beredar Surat
Keputusan (SK) Rektor mengenai batasan jam malam kegiatan Mahasiswa yang ada di
dalam kampus. SK yang datang secara tiba-tiba itu pun tentu saja menuai banyak
kontradiksi dari berbagai organisasi kemahasiswaan. Pembatasan waktu yang hanya
sampai pukul 21.00 WIB dirasa sangat mengekang waktu berorganisasi. Pasalnya
kegiatan rapat atau pun diskusi tidak cukup hanya dilakukan satu atau dua jam
saja dalam sekali duduk.
Sebagai pembuat kebijakan, Rektor dinilai
memberikan keputusan secara sepihak, tanpa melakukan mediasi terlebih dahulu
bersama Mahasiswa. Seharusnya kebijakan ditetapkan dengan melalui beberapa
tahapan tertentu. Diproses dan dipertimbangkan dari berbagai sisi, baru
dikeluarkan dan disebarluaskan kepada Civitas Akademika. Sebagai pemegang kebijakan
tinggi, seorang Rektor semestinya juga mengutamakan kesejahteraan masyarakatnya
(Dosen dan Mahasiswa). Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dari
masing-masing pihak.
Dengan ini diharapkan Rektor sebagai orang
nomer satu di perguruan tinggi ini bisa lebih bijak lagi dalam mengeluarkan
kebijakannya. Sehingga tidak ada lagi protes-protes atau kecaman dari
pihak-pihak tertentu.
Oleh : Ning Izmi Nugraehi
penulis adalah mahasiswa semester III Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a comment