Araaita.com – Teater
Sabda tampilkan sepuluh personilnya di perhelatan malam puncak Haflah Miladiyah ke-51 Himpunan
Mahasiswa Program Studi (Himapro) Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya pada Jumat kemarin (17/11).
Teatrikal
dengan iringan musik yang berbeda-beda, satu per satu dari lima punggawanya
mengawali jalan cerita mereka. Dalpo, sebagai mahasiswa rajin dengan jas
almamater UIN Sunan Ampel Surabaya, berkaca mata, serta buku di tangannya
sebagai bukti konkrit julukan yang disandarnya. Dia tidak sendirian, Ulfa yang memainkan
peran yang sama turut menggandengnya. Jika ada
mahasiswa yang rajin, maka mahasiswa nakalpun mengganggunya. Mereka adalah Kliwin,
Dani dan Helos. Peran mereka bertiga hanya mengganggu Dalpo dan Ulfa.
Bagian kedua
giliran Zulfa dan Della. Zulfa memerankan sebagai ibu rumah tangga yang
suaminya berpenghasilan seadanya. Namun Della justru malah sebaliknya, ia
menampilkan sebagai wanita karir yang suaminya kaya raya. Obrolan masalah
rumah tangga menjadi bahasannya. Perbincangan itu berlangsung sekitar dua
menit.
Jeda penampilan
berlalu, seseorang yang mengenakan kaos polos dan
celana pendek putih serta topi bundar khas seorang pedagang sayur-sayuran memulai bagian
ketiga. Disusul dua ibu tukang
rumpi, Alvi dan Ismi, memanggilnya untuk membeli sayurannya Ulum. Mereka bertigapun
memulai obrolan dengan bahasa-bahasa aneh nan centil yang mampu memecahkan
tawa para penonton.
Usai obrolan mereka
bertiga, kini masuk sesosok pria pakaian rapi kemeja putih ditambah dasi hitam
di dada seolah seorang pengusaha sukses. Namanya adalah Firman. Lalu diikuti
oleh Fifah yang notabene teman lamanya memasuki panggung
dramanya. Mereka berdua memulai percakapan, Firman yang saat itu
menjadi pria mapan mencoba menggoda Fifah untuk menikah dengannya. Padahal
Fifah sudah bersuami. Namun, rencana Firman digagalkan oleh tiga mahasiswa
nakal tadi.
Setelah
cerita kehidupan di dunia, Teater Sabda mengalihkan ke
cerita akhirat. Adzan berkumandang dan selang beberapa detik, muadzin menginformasikan ada
mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora yang meninggal menegangkan
suasana.
Kebingungan
para penonton pun menimbulkan pertanyaan apa yang akan terjadi di panggung
drama itu. Empat orang yang menjadi roda kendaraan jenazah dengan menggotong
jasad seseorang mengawali jalan cerita yang menjadi pamungkas drama tersebut.
Kemudian Rachman, sebagai seorang kyai yang berperan untuk menalkin (mendoakan jenazah
yang baru dikuburkan, red) jenazah itu.
Alhasil,
suasana dramapun berubah menjadi mencekam. Prosesi talkin dan doa serta selawat
melarutkan keharuan para pemain lain. Mereka bersedih dengan apa yang sudah
dilakukan di dunia. Adegan itupun memungkasi teatrikal yang mereka sajikan.
Dari
adegan terakhir itu, menjadikan alasan mereka memilih ‘Meikarta’ sebagai tema
yang diusungnya. Rachman Affandi, mahasiswa semester lima Bahasa dan Sastra
Arab itu mengungkapkan bahwa ‘Meikarta’ adalah rumah masa depan yang semua
orang tempati setelah mati.
“Meikarta
identik dengan rumah masa depan. Dan rumah masa depan yang sesungguhnya adalah
rumah yang akan kita tempatikelak setelah mati,” ungkap Rachman yang berperan
sebagai seorang kyai itu saat diwawancarai Minggu kemarin (19/11).
Segi
filosofis dari penampilan mereka memberikan pesan bahwa semua yang ada di dunia
pasti mati. “Semua yang di dunia pasti mati, hanya tinggal menunggu
saja kapan waktunya,” imbuh pria yang memakai jubah putih dan sorban yang
diikat di kepalanya itu. (Moh)
No comments:
Post a comment