![]() |
Listiani Hidayah* |
Sang pencipta memerintahkan sang mentari untuk manandakan jika hari sudah pagi. Awan yang bergemulai riang bertabur warna biru yang sangat terang. Begitulah mataku menangkap indahnya buatan sang pencipta. Namun disini bukan antara langit dan bumi, bukan juga antara awan dan munculnya mentari. Karna hidupku tak seindah itu. Aku hanyalah gadis berhidung sedikit mancung, berpenampilan seadanya,dengan kantong plastik besar dipunggungku dan membawa alat seperti tongkat untuk mencari apa yang bisa dimanfaatkan dan bisa dijadikan sebagai uang. Ya benar aku adalah seorang pemulung. Aku tinggal dilingkungan yang kumuh. Menepati tempat tinggal tanpa adanya jendela yang terbuat dari kayu. Namun ibuku selalu mengajariku untuk terus bersyukur. Bukannya aku mengeluh, namun siapa yang ingin untuk terus hidup susah sepertiku.
“Ayu!!!” suara yang sontak memudarkan lamunanku.
“Ada apa bu?” jawabku dengan senyum diwajahku.
“Ibu mau menyetorkan botol bekas dulu ya ke pak
Prapto,kamu dirumah saja!” ucapan pamit dari ibu.
“Iya bu.” Jawabku mengiyakan.
Ayu ,itulah namaku. Yang sebenarnya namaku adalah
Dirgahayu. Nama yang cukup unik menurutku. Karna dengan nama itu pastinya
dimata semua orang tidak asing lagi. Dan tentunya kedua orang tuaku mempunyai
alasan untuk pemberian namaku itu. Aku hanyalah seorang gadis yang belum
merasakan indahnya masa SMA. Aku putus sekolah sesudah pengumuman kelulusanku
di SMP. Itu disebabkan karna ayahku yang tiba-tiba saja pergi merantau dan
sudah hampir 5 tahun tidak ada kabar sama sekali. Yang membuat kondisi ekonomi
keluargaku semakin terpuruk. Dan karna hal itu juga aku memutuskan untuk putus
sekolah saja. Namun dalam batinku aku masih ingin melanjutkan sekolah ku itu.
Meskipun untuk mengabulkannya aku harus menunggu mukjizat dari Sang Pencipta.
Aku selalu mengambil buku-buku bekas yang ku temukan
di tempat sampah. Karna sudah pasti aku tak mampu membeli satu pun buku itu.
Aku tinggal dipemukiman yang memang dekat dengan perumahan elit dan sekolah SD
Suka Maju. Pada hari senin aku melihat anak-anak kecil yang berlarian menuju
sekolah untuk segera mengikuti upacara bendera. Hal itu makin mengingatkanku
saat aku masih bisa berpakaian seragam seperti dulu.
“Oi nglamun ajeh terus Yu .” Suara laki-laki yang
membuat jantungku berdetak lebih cepat alias aku terkejut.
“Apaan sih.” Jawabku singkat.
“Kemana ibumu?” Dengan sorotan matanya yang mencari-cari
keberadaan ibuku.
“Ke pak Prapto.” Lagi-lagi jawabku singkat.
“Kenapa sih cuek amat.” Tanyanya sinis
“Aku gak kenapa-napa bawel!” jawabku sambil menunjukkan
senyum termanisku.
Dia adalah sahabat laki-laki yang paling bawel
menurutku. Namanya adalah Imam. Sebenarnya disini akau ada enam sahabat
seperjuangan. Imam, Patti, Hasan, Gara, Antasari, Tini dan Dewi. Itulah nama
teman-temanku. Kita sama-sama putus sekolah dan tentunya pekerjaan kita dan
kehidupan kita hampir sama. Namun dalam lubuk hati kita masih tersimpan rasa
rindu untuk bersekolah.
“Ngumpul yuk ke lapangan!” ajak Imam.
“Ngapain ?”
“Kayak lo gak pernah kumpul ajah bro!” dengan nada
tinggi.
“Aku disuruh jaga rumah.” Jawabku mengelak.
“Percaya deh gak bakal ada yang mau mencuri rumah kita
ini.” Ejek Imam dengan mengedipkan sebelah matanya.
“Ya aku tahu tapi maksudnya aku disuruh di rumah sama
ibu.” Penjelasanku untuk Imam.
“Ya terserah lo deh, gue cabut dulu sister!” sambil
berlalu meninggalkan aku.
“Gaya bahasamu Mam kayak anak orang kaya aja.” Ledekku
dengan menyunggingkan sedikit senyuman.
“Gak apa-apa biar keturutan kaya beneran.” Ucap imam
yang sangat lantang dan membuatku terkekeh melihatnya dari kejauhan.
Persahabatan kita memang mengagumkan,banyak
tetangga-tetangga yang sudah hafal dengan kita. Dan kita pun punya tempat khusus
untuk berkumpul bersama, lebih tepatnya kita mempunyai sebuah markas . Markas
kita berada di lapangan tepat di belakang sekolah. Tempat itu biasanya dipakai
para murid untuk melaksanakan upacara bendera. Namun sekarang tidak lagi
digunakan.
Sang waktu terasa memutarkan jarumnya begitu cepat dan
menaikan angka di kalender sampai menduduki angka 30 lebih tepatnya 30 Juli.
Sebentar lagi sudah memasuki bulan kemerdekaan,yaitu bulan Agustus, bulan
kelahiranku. Aku memang telahir saat peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Karna alasan itulah aku
diberi nama Dirgahayu. Memang aku belum pernah merasakan apa itu kue ulang
tahun pemberian orang tuaku. Namun setidaknya aku bangga kelahiranku sama
seperti peringatan hari kemerdekaan
bangsa Indonesia. Karna semua orang dinegaraku akan merayakannya dan anggap
saja semua orang juga sedang merayakan ulang tahunku,begitu fikirku.
“Ayu ibu pulang.” Tiba-tiba ibu datang sambil membawa
sesuatu.
“Apa itu bu?” Tanyaku penasaran.
“Ini nasi bungkus tadi di kasih sama pak Prapto,kamu
makan gih!”
Dan yang kulihat nasi bungkus itu hanya satu bungkus
saja.
“Kalau aku makan nasi bungkusnya,ibu mau makan apa?”
Jawabku sambil memandang wajah ibuku.
“Udahlah ibu makan nanti saja, ibu udah kenyang kok.”
Jawab ibu dengan tersenyum,dan aku tahu jika ibu sedang berbohong.
“Kita makan sama-sama saja ya bu!”pintaku pada ibu.
“Kamu makan saja nak ,ibu mau mulung lagi,keburu
siang.” Begitulah penjelasan ibuku. Ibuku memang pekerja keras dan memeiliki
semangat hidup yang tinggi. Karna itulah aku bangga dengan ibuku.
Karna aku sudah mengiyakan penjelasan ibu tadi, jadi
aku memakan dengan lahabnya nasi bungkus itu dengan lauk ayam goring beserta
lalapannnya. Dan pastinya jarang lauk seperti itu berada dalam menu makanan
sehari-hariku. Setelah aku menghabiskan makananku sampai hanya tertinggal bungkus dan tulang
ayamnya saja. Perutku yang dari tadi memang sudah mengeluarkan bunyi gemuruh
kini sudah tak bergemuruh lagi.
Secara tidak sengaja aku membaca koran yang diletakkan
ibuku disampingku itu. Aku membaca huruf yang bercetak tebal dikoran itu.
“Menjelang Peringatan HUT RI yang ke 72” begitulah judul koran yang sedang aku
baca. Entah kenapa dalam benakku ingin sekali rasanya aku memperingatinya
dengan mengikuti upacara seperti dulu, saat aku masih merasakan menjadi seoarang
siswi disekolah.
“Bagaimana kalau aku buat upacara sendiri dengan
teman-temanku.” Tiba-tiba saja terbesit dalam hatiku untuk mengabulkan hal itu.
Akupun langsung bergegas menuju markas tempat biasanya aku dan teman-temanku
berkumpul.
“Hai teman-teman maaf aku baru nongol.” Kataku sambil
ngos-ngosan.
“Ngapain lo lari-lari kesini?Wah ini nih pasti ada
sesuatu?” Tanya Imam yang asal nyeplos.
“Ono opo toh Yu ,opo rumahmu kebakaran?” tambahan dari
Patti dengan ucapan logat jawanya.
“Aku ora popo.” Jawabku cengengesan.
“Haha bagus juga logat jawa lo.” Ledek Gara padaku.
“Udah to the point ajah Yu!”
“Sok inggris lu Mam.” Kata Tini dan Dewi yang hampir
bersamaan.
“Yu cepetan dong cerita!!!!” rengek Antasari dengan
mulut yang terisi penuh dengan kacang.
“Dasar lu gendut,kalau makan jangan sambil bicara.”
Ejekan Dewi yang membuat kita tertawa.
“Gini temen-temen gimana kalau tanggal 17 Agustus
nanti kita melaksanakan upacara dilapamgan ini??” penjelasanku untuk meminta
persetujuan.
“wah aku wis pasti setuju iki.”
“emm terus siapa yang ngibarin benderanya?” pertanyaan
Dewi yang membuatku fikiranku langsung berbalik arah.
“Boro-boro yang ngibarin bendera,benderanya ajah gak
punya.” Timpal Imam dengan wajah melasnya
“Ya beli dong mam?” jawab Tini enteng.
“Pakai uang Lo?” Sahut Imam sinis.
“Aku dulu nduwe tapi wis dipangan tikus.hehehe.” kata
Patti yang membuat tawa kembali menggelegar di markas kita ini. Lebih tepatnya sebuah
gubuk yang terbuat dari bambu dengan tampilan yang sangan sederhana.
Hingga pada akhirnya perdebatan kita di siang itu
menghasilkan sebuah keputusan. Jika kita akan melaksankan upacara itu. Namun
kita akan membeli benderanya dengan cara menabung. Pastinya kita akan
mendapatkan uang dari pekerjaan mulung kita. Untuk itu mulai hari ini juga aku
dan ke enam temanku mulai menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil mulung
yang kita dapatkan setiap harinya. Namun
tanpa sepengatahuan dari orang tua kita,bukan apa-apa tapi aku hanya tak ingin
mereka kena marah oleh orang tuanya masing-masing apalagi ibuku. Mungkin aku
sudah melebur jika terkena siraman rohaninya.
Dengan adanya rencana ini aku dan teman-temanku jadi
jarang berkumpul untuk mengahabiskan waktu bersama. Aku yakin teman-teman ku
juga mempunyai tekad yang tinggi untuk melaksanakan rencana ini. Untuk itu aku
bangga mempunyai teman seperti mereka. Mereka bagaikan pahlawan dalam hidupku,
pahlawan yang selalu menemani sepiku ,pahlawan yang selalu menjadi alasan
untukku selalu tertawa. Dan persahabatan kita jauh dari kata-kata saling
membedakan. Senatural mungkin itulah persahabatan kami.
Sepertinya sang waktu membuat hitungan kalender
semakin cepat. Hingga sepuluh hari lagi kita akan menuju HUT RI yang ke 72. Dan
aku rasa tabunganku sudah cukup untuk
membeli bendera.
“Ayu!!” Suara ibu yang terngiang di seluruh isi rumah
dan mungkin bahkan tetangga yang lain juga mendemgarnya.
“Ada apa bu?”
“Kamu yang nyuruh anak-anak lain menabung untuk
membeli bendera?”
“Enggak kok bu.” Dalam batinku bertanya-tanya,siapa
yang sudah membongkar rencananya. Namun tuduhan untuknya ini tidak ada benarnya sama sekali.
“Ibu tadi di kasih tahu ibunya Tini,sekarang Tini sakit
karna dia hampir tiap hari kerja keras dan jarang makan.”
“tapi bu aku gak tahu jika sampai Tini sakit. Niat
kami ber tujuh baik kok bu kita cuman ingin jadi anak bangsa yang
sesungguhnya,bangsa akan bangga bu sama kita.”
“Emang negara kamu kasih makan tiap hari buat
kamu,ngasih duit tiap hari buat kamu ?enggak kan??? Kamu ini orang susah
seharusnya kamu sadar diri! Beli makan ajah susah mau acara beli bendera
segala. Mana tabungan kamu biar ibu buat bayar hutang ibu di Pak Prapto.”
“Bu karna negara kitalah kita bisa seperti ini, kalau untuk nasib itu sudah takdir bukan
urusan negara itu urusan kita sama Tuhan bu..Setidaknya aku dan teman-temanku
disini berjuang bu gak minta-minta dengan orang tua,apa salahnya sih bu
melaksanakan upacara bendera. Setidaknya meskipun kita miskin tapi kita punya
semangat juang yang tinggi bu!”
PLAAKK … tiba tiba pipiku terasa perih. Entah kenapa
air mata yang dari tadi ku tahan jatuh secara tak sengaja membasahi pipiku.
“Kamu sekarang sudah berani ya melawan ibu, ibu yang
memberikanmu makan disini kalau kamu gak nurut dengan ibu kamu mau jadi apa?”
Dengan perasaan yang amat hancur aku berlari menuju
tempat entah kemana. Aku sudah tak bisa lagi menahan air mata dan hatiku yang
berkecamuk akan kata kekecewaan. Hingga akhirnya langkahku terhenti pada suatu
tempat. Dan ku dapati Imam yang sedang duduk termenung disana. Seketika aku menghampirinya
dia langsung menyambarku dengan berjuta
pertanyaan yang membuatku semakin terisak hebat.
“Lo gak papa kan,atau lo kenapa-napa?”
“Kayaknya rencana kita bakalan gagal Mam.”
“Lo ngomong apaan sih Yu,loh gak liat apa perjuangan
teman-teman buat beli bendera itu???perjuangan teman-teman buat latihan upacara
sama bapak security?? Dan sampai Tini sakit!!!!”
“Oh jadi kamu udah tahu kalau Tini sakit, kenapa sih
gak ada yang kasih tau aku?? Aku gak berhak tahu ya?? Atau kalian udah gak
nganggap aku sahabat lagi?”
“Bukan gitu Yu, gue sama yang lain kemarin udah datang
kerumah lo dan lo gak ada di rumah. Sudah tiga kali gue ke rumah lo tapi
hasilnya sama, lo tetep gak ada dirumah,sebenernya lo kemana sih?”
“Jujur Mam
selain mulung, kemarin aku rela pulang
sore setiap hari soalnya aku dapet kerjaan di warung baksonya pak Somat,aku
disana bantu pak Somat cuci piring.”
“Tuh kan lo sekarang yang gak terbuka sama kita Yu,
gue kecewa sama lo. Disaat yang lain butuh lo, lo malah ilang gak jelas
sekarang lo nangis-nangis karna gak dikasih tahu kalau Tini sakit.”
“Udah cukup Mam, aku yang salah disini aku yang
salah!!!!! Aku yang membuat acara ini aku juga yang merumitkan acara ini.
Mungkin aku udah gak pantes lagi jadi teman kalian. Dan asal kamu tahu Mam aku
ngelakuin ini semua juga untuk kalian. Agar kalian nanti saat upacara bisa
berseragam layaknya seorang paskibra, aku pergi Mam,sampaikan maaf ku ke yang
lain.” Ucapku dengan penuh rasa yang amat kecewa dan tentunya aku pun sangat
menyesal. Memang aku yang nampak terlalu egois disini. Ya Imam benar ini semua
salahku.
Hari semakin dekat saja dengan tanggal 17 Agustus .
Entah kenapa semenjak kejadian itu aku merasa tidak punya teman lagi. Entah
kenapa semua jadi menjauhiku. Meskipun hubunganku dengan ibuku sudah membaik
dan ibuku juga sudah menyesali apa yang sudah diperbuatnya padaku. Kadang aku
juga berfikir mungkin aku disini yang terlalu egois, meskipun niatku tidak
untuk menjadi teman yang egois bagi teman-temanku itu. Air yang mengalir
pastinya juga ada kalanya air itu berhenti. Entah karna berhenti tepat
dimuaranya atau mungkin tersumbat oleh hal lain.
“Bu..” ucapku lirih saat aku tidur dipangkuan ibuku.
“Kenapa Yu??” sambil mengelus-elus rambutku dengan
lembut.
“Apakah aku ini anak yang egois bu?”
“Kamu ada masalah nak,dengan teman-temanmu?”
“Kok ibu bisa tahu?” jawabku sambil melihat wajah
ibuku.
“Kemarin saat ibu bertemu dengan Imam di rumah pak
Prapto,Imam cerita banyak ke ibu.”
Pernyataan ibu yang membuatku semakin bertanya-tanya.
“Imam cerita apa ajah bu??” jawabku dengan langsung
mengubah posisiku menjadi duduk disamping ibu.
“Udah mending kamu temui mereka sekarang.”
“Tapi bu??” jawabku ragu.
“Sekarang sudah hampir mendekati tanggal 17 kan,jangan
sampai acaramu gagal?”
“Siap bu!” jawabku antusias.
Aku langsung bergegas menuju markas,aku berharap
mereka masih bisa menerimaku sebagai teman. Dan aku juga berharap mereka semua
berada disana. Ternyata benar,mereka semua sedang bercanda tawa di sebuah
tempat teduh yang sederhana itu. Tempat teduh yang kita buat bersama-sama
,tempat teduh berjuta kehangatan bahkan beribu kenangan tanpa bisa aku
menghapus semua kenangan itu.
“Teman-teman??” sapaku didepan mereka sambil wajahku
yang terus menunduk takut. Yang ku takutkan adalah mereka tidak bisa menerima
ku sebagai teman lagi.
“Mau ngapain lo kesini? Masih butuh lo sama kita ?”
jawab Dewi dengan ketusnya.
“Hushh, lo gak boleh gitu Wi.” Yang sepertinya Imam
telah membelaku.
“Aku minta maaf ya, aku gak bermaksud..” tiba-tiba
Imam lansung menyambar perkataanku itu.
“Kita semua udah maafin lo kok Yu,iya gak guys???”
katanya dengan senyum menatapku.
“Iya Yu, tanpa kamu persahabatan kita jadi gimana gitu
.” jawab Patti yang pastinya dengan logat jawa yang dimilikinya.
“Udah santai ajah,lo tetap teman kita kok!” begitu
ucap Gara.
“iya Yu..” Antasari pun turut mengiyakan.
“Udahlah Wi,lo gak usah kayak anak kecil,lo juga
kangen kan sebenarnya sama Ayu?? Kata Imam untuk meneduhkan amarah Dewi.
“Wi lo boleh marah sama aku tapi tetep anggep aku
sahabatmu ya Wi!!!” kataku sambil ku pandang Dewi yang bersikap acuh padaku.
Aku yakin dia sebenarnya sangat merindukanku tapi dia lebih memilih untuk diam.
Dan tiba-tiba saja dia langsung menghampiriku dan memeluk ku dengan cepat.
“Maafin gue juga ya Yu,lo tetep sahabat gue kok Yu!!!”
Akupun membalas pelukan Dewi dengan erat
serasa hatiku sangat dan sangat lega.
“Teman-teman.” Tiba –tiba aku mendengar suara wanita
yang ku rasa aku mngenali suara itu.”
“Tiniii!!!!!” kita semua pun langsung menghampirinya.
Seketika kita semua sadar jika Tini sudah sembuh dari penyakit demam yang sudah
dideritanya beberapa hari ini. Karna masalah pertemanan kita sudah
terselesaikan kita pun segera menyusun rencana kembali untuk segera
melaksanakan upacara 17 Agustus nanti. Seketika kita sudah mempersiapkan
semuanya. Pembagian Tugas pun dimulai.
Aku,Dewi,dan Patti bertugas untuk membeli bendera
sedangkan yang lainnya pergi ke rumah pak Rt untuk mengatakan ke pak Rt agar
pak Rt mememerintahkan para warga mengikuti upacara tersebut. Meskipun
sebenarnya Imam sudah pernah meminta persetujuan dari pak Rt dan pak Rt pun
menyetujuinya. Acara tersebut akan dilaksankan dilapangan belakang sekolah SD
SUKA MAJU itu. Karna sekolah SD itu sekarang lebih memilih upacara di area
dalam sekolahnya. Mungkin dengan alasan tempatnya lebih teduh dan bersih.
Seketika aku sudah mendapatkan benderanya. Aku,Dewi
dan Patti pun langsung bergegas menuju markas. Saat aku menyebrangi jalan aku
melihat rumah makan padang diseberang jalan. Yang memamerkan lauk-pauk yang
beraneka macam dan tentunya itu adalah masakan khas Padang. Sungguh rasanya
perutku sedang berdemo hari ini. Dan rumah makan itu membuat perutku berbunyi
lebih keras nanti. Brakkkkkk….. bukan itu bukan suara perutku karna suara itu
adalah yang membuat tubuhku terasa terbanting diatas jalanan hitam itu,pertama
kali kurasakan kakiku yang amat sangat sakit,kupandang langit tak lagi
memunculkan warna birunya. Dan pening dikepalaku membuatku semakin ingin
terlelap. Namun masih terdengar sayup-sayup kecil suara dari Dewi dan Patti
yang kurasa mereka sangat panik dengan kondisiku.
Saat ku tersadar aku sedang terbaring lemah diatas
keranjang. Aku tahu keranjang itu sangat asing untukku. Namun nampaknya ini
lebih nyaman. Memang benar aku mengalami kecelakaan saaat akau deang
menyebrangi jalanan itu,saat ku tahu kakiku dalam kondisi patah,terdengar buruk
emang. Tapi inilah rencana Tuhan dan inilah jalan hidupku. Namun aku tetap menyuruh
kawan-kawanku untuk terus melanjutkan upacara itu meskipun tanpa aku. Mungkin
akan sulit untukku berjalan,namun aku akan tetap berusaha hadir dalam acara
itu.
Kalender sudah menunjukkan angka 17. Ya benar hari ini
adalah hari ulang tahunku. Namun bukan hal itu yang sedang berkecamuk dalam fikiranku.
“Bu antarkan aku ke upacara itu?”
“Kamu kan gak bisa jalan Yu!” jawab ibuku sambil
menangis.
“Bu percaya denganku!” jawabku dengan mengusap air
mata ibuku.
“Tapi nak!”
“Bu..” ucapku meyakinkan.
“Baiklah.” Ucap ibu pasrah.
Seketika aku sampai disana, aku melihat acaranya
terlihat berjalan lancar. Banyak wartawan yang meliput acara itu. Dan juga banyak
warga yang mengikuti acara tersebut. Aku
pun turut bangga dengan teman-temanku. Saat aku hampir sampai di bawah tiang
bendera itu dengan tiga kaki yang
membantuku untuk berjalan. Yang tentu saja dua kaki lainnya adalah milik ibuku.
Ketika sang pemimpin upacara memerintahkan untuk hormat kepada sang merah putih
aku pun menghentikan langkahku ditengah semua teman-temanku yang berdiri tegap
di bawah tiang bendera itu. Semua melirikku dan melihat kondisiku yang jauh
dari kata normal. Aku tahu mereka mengkhawatirkanku. Seketika mereka
menjatuhkan air matanya. Aku pun turut merasakan jatuhnya air mata itu. Entah
kenapa, air mata itu membuatku sangat mencintai negaraku dan juga para pejuang
sang merah itu yang tak lain adalah para sahabatku. Sekarang aku paham dan aku mulai mengerti
betapa susahnya dulu untuk mengibarkan sang merah putih tercinta itu. Aku
bangga seseorang sepertiku dan teman-temanku ini sanggup melewati peperangan
meskipun bukan perang seperti dahulu. Untuk persahabatan kami semoga akan
selalu tetap seperti ini dan semoga akan leboh baik lagi dari ini. Bukan
bagaimana cara kita menjadi mewah didepan sahabat kita,tapi jadilah dirimu
sendiri untuk menjadi baik didepan mereka. “Selamat ulang tahun Dirgahayu dan
Dirgahayu Republik Indonesiaku.”
*BIODATA DIRI
Nama
Lengkap : LISTIANI HIDAYAH
Jenis
Kelamin : PEREMPUAN
Tempat,
Tanggal Lahir : JOMBANG,28 DESEMBER 1999
Asal
Sekolah : SMA PGRI 2 JOMBANG
Jurusan : IPA
No.
Induk : 215118
Alamat : Ds.KERAS DIWEK JOMBANG
Alamat
Email :
listianihidayah@gmail.com
No.
Handphone : 085856983700
No comments:
Post a comment